Jumat, 13 Maret 2009

KAUM BURUH DAN KAUM PETANI

‘Terlalu sering kita mengacaukan kaum buruh dengan kaum petani.
Padahal keduanya merupakan kelas yang berbeda.
Partai Sosialis didasarkan pada dua kelas tersebut,
dan fakta bahwa Partai Sosialis memiliki dua jiwa,
bersumber dari keberadaan dua kelas tersebut.’
(Gramsci, dalam L’Ordine Nuovo, 28 Maret 1922)

Menurut Gramsci, aliansi antara kaum buruh dan kaum petani merupakan satu-satunya yang bisa membawa kaum proletariat Italia ke jalan revolusi. Aliansi ini sangat terkait dengan persoalan di wilayah Italia Selatan, dan secara tidak langsung, terkait dengan persoalan Vatikan dan dengan keberadaan dan fungsi yang dijalankan oleh kaum intelektual. Jika diringkaskan secara skematis, aliansi antara dua kelas, persoalan di wilayah Italia Selatan dan persoalan Vatikan serta keberadaan dan fungsi kaum intelektual ini merupakan tema-tema yang ditekuni oleh Gramsci sepanjang hidupnya sejak dari periode Ordine Nuovo sampai dengan periode akhir penulisan Prison Notebooks. Tema-tema tersebut dia bahas dengan originalitas teoretis yang brilyan secara bagus.

Sebuah artikel penting yang Gramsci terbitkan dalam L’Ordine Nuovo pada bulan Agustus 1919 diberi judul dengan tepat Operai e contadini. Dalam artikel tersebut, dia menulis bahwa perang telah menyebabkan terjadinya transformasi-transformasi revolusioner. Sebelum Perang Dunia Pertama, kata Gramsci, para petani tak pernah merasa menjadi bagian dari sebuah kolektivitas (yaitu kolektivitas yang disebut oleh kaum borjuis sebagai bangsa dan oleh kaum proletariat sebagai kelas). Para petani harus berjuang secara individual atau harus bereaksi secara anarkhis melawan penindasan negara yang selalu dia alami, dan dia telah mengacaukan perjuangan kelas dengan aksi perampokan. Namun kemudian, ‘waktu empat tahun berjuang sembunyi-sembunyi dan eksploitasi berdarah telah mengubah secara radikal psikologi para petani’. Pengalaman Rusia telah menunjukan arti dari pengalaman Italia karena kondisi-kondisis historis dari kedua negara itu tidak berbeda dan tak jauh berbeda. ‘Problem penyatuan kelas buruh dan kaum petani harus dihadapi dalam cara-cara yang sama,’ kata Gramsci, karena bagi kedua negara, komunisme merupakan sebuah keniscayaan eksistensial. Revolusi bisa dicapai hanya di bawah kondisi-kondisi kedisiplinan dan pengorganisasian tertentu. Massa buruh di kota-kota besar adalah tokoh utama dari revolusi, namun revolusi tak akan pernah berhasil ‘secara permanan dan mendalam’ hanya dengan dukungan kekuatan tersebut. ‘Adalah perlu untuk menyatukan kota besar dengan desa untuk merangsang tumbuhnya institusi-institusi kaum petani miskin di pedesaan yang akan menjadi dasar bagi didirikannya dan dibangunnya Negara sosialis, dan lewat institusi-institusi tersebut, menjadi mungkin bagi Negara sosialis untuk memajukan penggunaan mesin-mesin dan memacu proses transformasi besar dalam ekonomi agrarian.’ Kaum proletariat tegasnya terdiri atas kaum buruh di dunia industri dan kaum petani miskin, dan mereka merupakan ‘dua sayap dari tentara revolusioner’. Setiap orang harus sadar bahwa ‘tanpa konsensus kaum buruh dan petani, orang tak bisa berkuasa’ karena kaum buruh dan kaum petani merupakan ‘dua lapisan masyarakat pekerja yang paling besar jumlahnya. Namun, harus ditegaskan secara tegas bahwa kaum revolusioner harus selalu mengarahkan dirinya hanya pada kaum petani miskin, pada ‘kaum yang tak berlahan’. Problem besarnya ialah bagaimana menggerakkan kaum petani agar bisa diorganisir dalam sebuah gerakan yang dilandasi oleh kesadaran. Problem ini masih mungkin untuk diatasi sepanjang ‘institusi-institusi kontrol produksi yang bersifat kolektif’ juga diorganisir di pedesaan. Institusi-institusi inilah yang menurut Gramsci akan menciptakan kohesivitas dan mentransformasi massa petani baik secara psikologis maupun teknis, ‘sambil tetap membolehkan bentuk-bentuk sementara penguasaan tanah (area tanah yang berukuran kecil) secara pribadi tetap eksis’. Dua gerakan revolusioner, yang satu demi penguasaan pabrik-pabrk, dan yang lain demi pendudukan tanah, haruslah menjadi suatu keseluruhan. Karena itu, kaum buruh harus sadar bahwa hanya mereka yang bisa memecahkan problem yang ada di wilayah Italia Selatan, yaitu problem Mezzogiorno, ‘dengan bersatu’. Aksi revolusioner dari kelas buruh akan bisa menciptakan sebuah transformasi jika dipisahkan secara tegas antara kaum petani yang miskin dan pemilik lahan pertanian yang sempit di satu sisi dengan kaum petani kaya atau para pengeksploitasi di sisi lain. Kaum petani miskin-lah yang akan menjadi ‘pendukung’ bagi kelas buruh dan menjadi kekuatan yang memungkinkan keduanya berhasil merebut kekuasaan.
Adalah juga perlu, catat Gramsci, dilakukan pemetaan terhadap situasi politik yang ada karena terdapat penyebarluasan rasa keberagamaan di pedesaan. Proses penyebarluasan ini mendapat dukungan lumayan besar dari kaum petani miskin yang mendukung partai-partai politik yang merepresentasikan sebuah ‘koalisi dari strata petani yang berbeda-beda’. Namun ‘ikatan-ikatan agama tentu saja tidak cukup untuk mencegah perjuangan kelas’, sebuah perjuangan yang di pedesaan masih belum berbentuk secara organik dan belum tersebar luas dan belum dibangun di atas dasar kesadaran. Baru ketika kaum petani miskin dijauhkan dari politik partai-partai yang menyatukan mereka, pada saat itulah kelas buruh akan bisa berharap bahwa perjuangan kelas mereka akan memasuki ‘ke tahapan akhir’-nya. Kaum buruh memang merupakan tokoh utama dari revolusi komunis, namun massa petani-lah yang akan menjadi agen-agen utama aksi pra-revolusi. ‘Problem kekuatan’ yang dihadapi oleh kaum buruh yang lebih berkesadaran dan siap akan bisa dipecahkan oleh massa kaum petani miskin. Revolusi memang akan bepusat di wilayah Italia Utara, namun dengan segera, ‘kelas pekerja pabrik akan berhadapan dengan problem yang luar biasa yang tercipta akibat perang. Problem itu ialah bagaimana agar bisa berhasil dalam menciptakan sebuah organisasi Negara yang memiliki sarana-sarana pertanian yang terindustrialisasi. Dengan industrialisasi ini, kaum petani akan berada dalam kondisi-kondisi kerja yang sama dengan kaum buruh. Dengan begitu, satu jam kerja pertanian akan bisa dipertukarkan dengan satu jam kerja di pabrik secara dan dengan begitu, kepentingan kaum proletariat dalam aktivitas pertukaran barang-barang yang diproduksi oleh keduanya di bawah kondisi-kondisi kerja yang sama sekali berbeda tak akan terabaikan’. Apalagi, kata Gramsci, sudah umum diketahui bahwa kaum petani merupakan salah satu dari ‘kelas sosial yang secara historis paling lamban dan paling akhir dalam mendiferensiasikan dirinya’.
Gramsci sering mengklaim bahwa Partai Komunis telah berjasa mengubah secara total psikologi para buruh Italia Utara dalam memandang orang-orang Italia Selatan. Prasangka-prasangka dan klise-klise rontok satu per satu ketika dikonfrontasikan dengan fakta bahwa kaum buruh di Italia Utara dan kaum petani miskin di Selatan telah sama-sama memandang diri mereka masing-masing sebagai dua kelas sosial yang dihancurkan dan dieksploitasi, meski dengan cara yang berbeda-beda, oleh para pemilik harta kekayaan yang sama, yaitu kaum borjuis. Bahwa kaum borjuis industrial yang sama, yang mencengkeram kaum buruh di Utara di bawah kekuasaan ekonominya, juga telah menaklukkan Italia bagian selatan dan kepulauan dan ‘meredusirnya menjadi koloni-koloni yang harus dieksploitasi’. Jadi, ‘kaum proletariat di Italia Utara, dengan mengemansipasi dirinya dari perbudakan kapitalis, akan juga mengemansipasi massa kaum petani di selatan yang ditaklukkan oleh bank-bank dan oleh industri yang parasit di Italia Utara’. Kaum buruh akan memutuskan rantai yang membelenggu kaum petani miskin, dan mereka akan membantu kaum petani miskin untuk lepas dari penderitaan dan keputusasaan eksistensinya. Di sisi lain, mengapa kaum petani harus berharap bahwa kaum proletariat industri juga akan melahirkan sebuah revolusi pembebasan demi kebaikan mereka? Karena kelas buruh merupakan satu-satunya kelas yang berkepentingan terhadap diciptakannya kesetaraan sejati daalam kondisi-kondisi kerja dan produksi di dunia industri dan di dunia pertanian, dan karena ‘kelas buruh telah kehabisan tenaga dan merosot kondisi fisiknya sebagai akibat tak punya bahan pangan’.1 Karena alasan inilah, dua kelas itu harus bekerja sama dalam mereorgansiasi Negara, mensosialismekan pabrik dan perusahaan keuangan besar, membebaskan diri dari riba perbankan dan kaum kapitalis.
Sayangnya, lanjut Gramsci, partai Komunis sangat terlambat dalam mengembangkan sebuah analisis ideologis terhadap kejadian-kejadian historis yang telah membentuk gerakan-gerakan penguasaan lahan yang ada. Partai masih tak tahu bagaimana harus mengevaluasi gerakan pembebasan ini atau fakta bahwa gerakan-gerakan semacam itu dipimpin oleh ‘partai-partai politik yang pada kenyataannya bersifat kontra-revolusioner’. Partai tidak tahu perasaan-perasaan apa yang tumbuh di kalangan massa petani ketika massa tersebut pada akhirnya mengetahui kemandulan dari sebuah upaya emansipasi. Partai harus menghadapi ‘prolem sentral kehidupan nasional Italia, yaitu persoalan Italia Selatan’. Partai harus memecahkan jaring-jaring relasi yang kusut antara kaum petani dan kaum buruh. Kaum buruh harus memahami secara sangat jelas bagaimana kapitalisme telah berkembang di Italia, yaitu lewat pensubordinasian yang semakin kuat atas daerah pedesaan pada kota-kota industri, atas Italia bagian selatan dan tengah pada Italia bagian utara. Relasi antara kota dan desa di Italia merupakan relasi ‘antara satu bagian dari wilayah nasional dan bagian lain yang sangat berbeda yang dicirikan oleh fitur-fiturnya yang khas’. Jika semua ini dipahami, maka tak mungkin bagi aristokrasi buruh di Italia Utara serta kaum borjuis kapitalis untuk terus bisa mengeksploitasi Italia Selatan (eksploitasi yang juga dijalankan, sadar atau tidak, oleh seluruh kaum reformis) melalui cara-cara ‘proteksionisme korporatif’ dan dengan cara ini berusaha mengemansipasikan kelas buruh ‘di atas beban mayoritas masyarakat pekerja’. Emansipasi kelas buruh hanya akan bisa berlangsung melalui aliansi antara para buruh industri di Italia Utara dengan para petani miskin di Italia Selatan untuk menggulingkan kapitalisme, untuk menghancurkan Negara borjuis, dan untuk menciptakan sebuah Negara proletarian, untuk membangun sebuah aparatus prooduksi industrial yang baru yang melayani kebutuhan-kebutuhan pertanian, yang bisa dipergunakan untuk mengindustrialisasikan pertanian Italia yang terbelakang dan dengan begitu akan bisa menaikkan tingkat kesejahteraan nasional yang akan membawa keuntungan bagi kelas buruh’.
Para pemilik tanah, yang berusaha menghancurkan para petani kecil, juga berharap akan bisa menang melawan kelas buruh. Menjadi tugas dari seluruh buruh, kata Gramsci, untuk mengawasi apa yang telah terjadi di pedesaan secara tekun. Bahkan, sebuah partai yang revolusioner bisa dikenali berdasarkan pada tingkat pemahamannya terhadap problem petani dan oleh solusi yang bisa ditawarkannya. Di Italia khususnya, sebuah revolusi hanya akan mungkin sepanjang kepentingan-kepentingan kaum petani dan kaum buruh menyatu secara total. ‘Problem revolusi Italia karenanya ialah problem persatuan antara kaum buruh dan kaum petani.’
Di sisi lain, kita membaca beberapa laporan ringkas yang diterbitkan dalam L’Ordine Nuovo mengenai keikutsertaan para pemimpin partai dalam Konggres Partai Komunis yang kedua dan sebuah laporan mengenai kongres nasional yang dikirimkan kepada cabang partai di Turin yang barangkali ditulis oleh Gramsci. Dokumen-dokumen tersebut terasa agak membingungkan karena sering tampak bertentangan, bahkan sangat bertentangan dengan isi artikel-artikel Gramsci yang telah diikhtisarkan dalam paragraf sebelumnya. Fakta ini sebagian bisa dijelaskan dengan kenyataan bahwa laporan-laporan itu mungkin tidak akurat sepenuhnya dan mungkin tidak mengekspresikan pemikiran Gramsci secara tepat. Selain itu, harus diingat bahwa Gramsci seringkali merefleksikan pemikiran-pemikiran dan ide-idenya dalam artikel-artikelnya yang hanya sebagian saja merupakan pemikirannya sendiri dan yang secara keseluruhan juga dianut oleh semua pemimpin aparatus partai lainnya. Baru kemudian, Gramsci mengadakan sebuah kajian yang independen dan bersifat pribadi terhadap problem aliansi politik antara kaum buruh dan kaum petani. Hal ini tampaknya mengharuskan kita untuk menganalisis secara lebih serius pemikiran Gramsci. Meski demikian, sepanjang yang kita ketahui, sampai saat ini belum ada satu pun yang bisa memberikan usulan interpretasi yang tepat dan bisa diterima terhadap tulisan-tulisan Gramsci mengenai tema aliansi kelas buruh dan kaum petani. Juga belum ada seorang yang mencurahkan banyak waktu untuk menganalisa tulisan-tulisan tersebut.
Persoalan paling penting pada saat itu ialah persoalan front bersatu. Namun, Gramsci berkeyakinan bahwa bukan hanya Partai Populer2, namun juga sebagian dari Partai Sosialis harus dikecualikan dari aliansi dengan kaum komunis. Aliansi dengan Partai Populer harus dikecualikan karena partai ini pada hakekatnya didasarkan pada kaum petani. ‘Saat ini, memang benar bahwa kaum petani telah memiliki kesediaan untuk turut serta dalam perjuangan melawan Negara, namun mereka berjuang untuk membela hak milik mereka, dan bukan hanya untuk membela upah dan jam kerja mereka. Perjuangan yang mereka lakukan diilhami oleh beberapa motif yang termasuk dalam wilayah hukum sipil borjuis.’ Partai Komunis harus tetap menjadi partainya kaum buruh, menjadi organisasi politiknya kelas buruh tanpa harus dikacaukan dengan kelompok-kelompok sosial yang lain akan membawa pada melemahnya aksi revolusioner. ‘Terlalu sering kita mengacaukan kaum buruh dengan kaum petani. Padahal, keduanya merupakan kelas yang berbeda. Partai Sosialis didasarkan pada dua kelas tersebut, dan fakta bahwa Partai Sosialis memiliki dua jiwa, bersumber dari keberadaan dua kelas tersebut. Kelas buruh dan petani memang bisa menyatu dalam bentuk organik sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Komunis dalam tesisnya mengenai persoalan agrarian, namun tak boleh dibayangkan bahwa kaum petani akan bisa menjadi kaum komunis. Partai Komunis harus mempertahankan identitasnya sebagai partai buruh yang memiliki beberapa pusat aksi di pedesaan.’ Karakter revolusioner dari kaum buruh dan kaum petani sangat berbeda, dan akan menjadi absurd untuk berjuang demi sebuah front bersatu yang mencakup Partai Populer yang basisnya dulu dan sekarang masih kaum petani. Untuk alasan-alasan taktis, kelas buruh mungkin bisa mencapai kesepakatan-kesepakatan temporer dengan kaum petani, namun ‘satu hal yang tak boleh dilupakan ialah bahwa kelas buruh harus tetap mempertahankan independensi dan supremasi organisasi politik kaum buruh (baik yang di pabrik maupun di pertanian) karena hanya kaum buruh-lah yang merupakan satu-satunya kelas yang gerakan revolusionernya bisa dianggap berwatak komunis’. Memang benar, lanjut Gramsci (dalam konteks ini merujuk secara khusus pada para pemilik tanah yang kecil, dan membedakan kaum petani dari buruh tani), bahwa ketika kita menyatakan bahwa kaum petani tak bisa memiliki karakter revolusioner, kita merujuk pada kaum petani sebagai sebuah kelas dan bukan sebagai individu petani yang mungkin saja bisa menjadi komunis yang baik.
Dua aksioma yang sama-sama fundamental masih tetap berlaku. Yang pertama bahwa revolusi harus dipimpin dan dilaksanakan oleh kelas buruh yang dengan begitu, pada saat yang bersamaan akan juga membebaskan seluruh petani dari belenggu-belenggu perbudakan yang membelenggunya. Yang kedua ialah bahwa revolusi proletarian tak akan pernah mencapai sebuah keberhasilan yang sejati dan stabil tanpa adanya dukungan menentukan dari kaum petani. Dua kesimpulan Gramsci ini buat kita tampaknya masih segaris dengan segenap bahasan sebelumnya. Namun, pembaca pastilah akan juga mencatat betapa ‘baru’-nya beberapa refleksi yang telah kita ikhtisarkan dari laporan-laporan ‘resmi’ yang diterbitkan dalam L’Ordine Nuovo. Tentu saja, tak mungkin laporan-laporan tersebut akan dimuat dalam kolom-kolom harian tersebut tanpa sebelumnya mendapat ijin dari kepala redaksinya.
Selama seluruh hidupnya, Gramsci terus mengkaji problem-problem hubungan antara kaum buruh dan kaum petani dan mengenai tema persoalan Italia Selatan. ‘Saya adalah seorang Italia Selatan!’ serunya kepada seorang anggota koalisi pemerintahan ketika dalam laporan pandangannya di depan Dewan Perwakilan tahun 1925, anggota koalisi itu memotong pandangannya dan menuduhnya tak memahami Italia Selatan. Dia menulis sebuah esai terkenal, yang masih belum rampung, mengenai topik ini: Alcuni temi della quistione meridionale, yang dia kerjakan persis sebelum dia dipenjara. Barangkali inilah karya besar Gramsci, meski Gramsci berkebaratan terhadap penilaian ini dalam sebuah kalimat yang telah dikutip sebelumnya dari sebuah surat buat saudara ipar perempuannya pada tanggal 19 Maret 1927. ‘Masih ingat karyaku yang sangat ringkas dan sangat dangkal mengenai Italia Bagian Selatan dan mengenai arti penting Benedetto Croce?’ Namun, esai itu merupakan karya besar karena hal kejernihan paparannya, karena kompleksitas analisisnya, dan karena ketajaman dan originalitas penilaian Gramsci. Karya itu adalah karya besar karena kemampuannya dimana beragam tema ditenun secara jalin menjalin dan diperlihatkan kesalingtergantungannya satu sama lain. Dalam esai tersebut, kita membaca sajian mengenai tema-tema paling penting yang ditekuni Gramsci sepanajng hidupnya: yaitu persoalan Italia Bagian Selatan, problem aliansi antara kaum buruh dan kaum petani miskin, persoalan Vatikan, problem fungsi intelektual dalam masyarakat borjuis. Dalam esai ini, dan dalam gayanya, terdapat sebuah pengambilan jarak dari hasrat berpolemik dari artikel-artikel jurnalistik yang dibentuk oleh iklim politik yang melingkupinya. Adanya jarak yang memisahkan dirinya dengan dunia luar saat dia dipenjarakan, diharapkan Gramsci akan bisa menjadi awal penulisan yang sungguh-sungguh ‘obyektif, für ewig,’ dan rencana ini diwujudkannya dalam Prison Notebooks. Esainya mengenai persoalan Italia Selatan persis menandai trasisi ke gaya yang obyektif ini.
Konsep fundamental yang telah memandu kaum komunis dalam perjuangannya, tulis Gramsci, ialah konsep ‘tentang aliansi politik antara kaum buruh di Italia Utara dengan kaum petani di Italia Selatan dalam rangka untuk menyingkirkan kaum borjuis dari kekuasaan Negara’. Agar aliansi ini bisa terealisir, kita harus paham dengan fakta bahwa di Italia, persoalan petani mengambil ‘dua bentuk yang khas dan khusus, yaitu persoalan Italia Selatan dan persoalan Vatikan’. Langkah pertama yang diambil oleh para buruh Turin ialah menolak sekumpulan klise yang sangat berukar berakar dalam diri mereka, seperti pandangan bahwa orang Italia Selatan malas bekerja, bahwa orang Italia Selatan bodoh, kriminal, barbar. Kaum buruh Turin bereaksi melawan klise-klise ini dalam praktek dan aksi mereka dengan jalan bergaul dengan para petani Italia Selatan yang menjalani wajib militer dan ditempatkan di berbagai resimen di Turin, dengan jalan mengusulkan pencalonan seorang Italia Selatan, seperti Gaetano Salvemini untuk wilayah perwakilan Turin, dengan jalan melakukan kerja propaganda secara aktif di kalangan para imigran dan dengan mengarahkan kaum petani mengambil posisi-posisi politik mereka sendiri.
Mengapa perubahan besar-besaran dalam kesadaran dari setiap militan ini harus diciptakan? Karena ‘tak ada aksi massa yang mungkin jika massa itu sendiri tidak yakin akan tujuan-tujuan yang ingin dicapainya dan akan metode-metode yang diterapkannya. Kaum proletariat agar bisa berkuasa sebagai sebuah kelas harus menyingkirkan setiap residu paham korporatis, setiap prasangka atau sampah sindikalis. Apakah artinya hal ini? Bukan hanya bahwa perbedaan-perbedaan yang ada antara satu bidang pekerjaan yang satu dengan bidang kerja yang lain harus bisa diatasi, namun juga bahwa untuk bisa merebut kepercayaan dan dukungan dari para petani dan beberapa kelompok semi-proletarian perkotaan, adalah perlu untuk bisa mengatasi prasangka-prasangka tertentu dan untuk mengalahkan sikap egoistis tertentu yang bisa dan memang ada dalam diri kelas buruh sedemikian rupa bahkan setelah perbedaan-perbedaan di antara bidang pekerjaan telah lenyap dari tengah-tengah mereka.’
Gramsci melacak kembali sejarah Italia beberapa dekade sebelumnya, dan dia memusatkan kajiannya terhadap politik Giovanni Giolitti. Giolitti, kata Gramsci, selalu ingin menghancurkan para petani Italia Selatan. Pada awalnya, dia menggunakan Partai Sosialis yang secara tanpa sadar telah menjadi sebuah alat dari politik Giolitti. Kemudian, ketika Partai Sosialis sekali lagi mengadopsi pemikiran-pemikiran yang tak lagi bersifat reformis atau kolaborasionis, Giolitti beralih ke kaum Katolik untuk bisa melanjutkan kebijakan-kebijakannya. ‘Giolitti lalu mengubah lagi arahnya. Dia menggantikan aliansi antara kaum borjuis dan kaum Katolik yang merepresentasikan massa petani Italia Selatan dan Tengah dengan aliansi antara kaum borjuis dan kaum buruh.’ Namun, persoalan Italia Selatan masih tetap belum terpecahkan olehnya.
Bahkan pembaca yang paling tidak peduli akan bisa menangkap keluasan dan kedalaman argumen-argumen Gramsci. Italia Selatan, lanjut Gramsci, dicirikan oleh ketiadaan secara mutlak persatuan sosial karena penduduk petani tak memiliki kohesi apapun. Dalam masyarakat Italia Selatan, paling tidak ada tiga strata sosial yang sangat penting yang bisa dibedakan: Yaitu ‘Massa petani yang besar, terpencar-pencar dan amorf, kaum intelektual dari kelas menengah rendahan di pedesaan, dan para pemilik tanah yang luas dan kaum intelektual yang lebih tinggi.’ Alam kenyataan, kategori yang ketiga inilah yang mendominasi sepenuhnya seluruh aspek realitas Italia Selatan, yang terutama dalam wilayah ideologis dimana ‘sentralisasi berlangsung dengan efisiensi dan presisi yang lebih tinggi’. Dalam artian inilah, Gramsci bisa mengajukan sebuah penilaian yang tajam terhadap dua intelektual Italia Selatan seperti Giustino Fortunato dan Benedetto Croce yang disebut Gramsci sebagai ‘dua tokoh terbesar dari reaksioner Italia’.
Hampir semua bagian lain dari esai karya besar Gramsci tersebut dicurahkan untuk mengkaji keberadaan dan fungsi para intelektual dalam masyarakat Italia Selatan dalam sebuah cara yang membuatnya menjadi pendahulu yang terampil dari sedemikian banyak tulisan dalam Prison Notebooks. Kelompok sosial intelektual, termasuk pendeta, menjadi mata rantai yang niscaya antara petani Italia Selatan dengan pemilik tanah yang luas. Satu-satunya tujuan dari ‘blok agrarian yang kejam’ ini ialah pelestarian status quo. Di atas blok tersebut, bergeraklah blok intelektual dan kedua blok ini berupaya untuk mencegah agar retakan-retakan dalam blok agrarian tidak sampai menjadi terlalu berbahaya dan sekaligus menghambat keruntuhan blok tersebut. Namun, karena masyarakat Italia Selatan dicirikan oleh disintegrasi sosial yang besar, demikian pula blok intelektual dicirikan oleh sebuah ketiadaan kohesi dan persatuan yang nyaris bersifat mutlak. Bertebaran dalam kelompok-kelompok kecil, para intelektual Italia Selatan meraba-raba mencari jalan bersama dan masing-masing lalu berakhir dalam jalannya sendiri-sendiri, yaitu jalan yang paling menguntungkan baginya. Mereka menjalankan fungsi-fungsi yang berbeda-beda, jika bukannya saling bertentangan. Sebagai misal, Croce ‘menjalankan fungsi “nasional” yang sangat penting. Dia memisahkan kaum intelektual radikal Italia Selatan dari massa petani, dan menjadikan kaum intelektual tersebut menjadi bagian dari kultur Eropa dan Italia, dan atas dasar kultur ini, dia menyatukan kaum intelektual dengan kaum borjuis nasional dan juga dengan blok agrarian.’
Di Turin, segera setelah Perang Dunia pertama, kelompok Ordine Nuovo dan Piero Gobetti melakukan sebuah upaya berharga untuk menjadi lebih dekat dengan realitas dan problem-problem Italia Selatan. ‘Figur Gobetti dan gerakan yang diwakilinya merupakan produk-produk spontan dari iklim historis yang baru di Italia. Arti dan makna penting dari keduanya terletak dalam iklim tersebut.’ Kaum intelektual Italia Selatan juga mengalami perkembangan yang nyata. ‘Di antara para intelektual ini, Guido Dorso merupakan figur yang paling lengkap dan menarik.’ Pembahasan Gramsci sendiri kebanyakan mengenai tema-tema umum yang bernilai penting secara nasional. Gerak perkembangan kaum intelektual ini, kata Gramsci, jauh lebih lambat daripada gerak perkembangan kelompok sosial yang lain manapun. Adalah absurd jika membayangkan bahwa sebagai sebuah keseluruhan, kaum inetelektual bisa berpisah dengan masa lalunya dan mengadopsi pemikiran-pemikiran revolusioner. Penerimaan secara individual oleh seorang intelektual terhadap program revolusioner kelas buruh tentu saja memiliki arti penting, namun ‘kami lebih tertarik pada kaum intelektual sebagai sebuah keseluruhan, bukan sekedar sebagai individu-individu’. Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga ‘tercipta sebuah retakan yang organis dan historis dalam tubuh massa intelektual: sehingga tendensi sayap kiri, dalam artian katanya yang modern yaitu berorientasi kepada proletariat revolusioner, tercipta sebagai sebuah formasi massa’. Banyak intelektual yang telah bekerja dan masih bekerja dalam arah ini karena begitu besarnya tugas yang harus dikerjakan. Banyak dari mereka ‘memahami bahwa hanya ada dua kekuatan sosial yang secara esensial bersifat nasional dan merupakan pemikul masa depan: yaitu kaum proletariat dan kaum petani’. Dan pada titik inilah, naskah tulisan Gramsci terputus.
Gramsci melanjutkan menganalisa problem itu secara tajam sepanjang sisa hidupnya. Dalam Prison Notebooks, dia sempat menyinggung suratnya yang terkenal kepada Central Comittee Partai komunis Soviet pada tahun 1926, (sebuah surat yang baru-baru ini ditemukan kembali dan diterbitkan). Dalam surat kepada PKUS, Gramsci mencatat bahwa di Italia sebagaimana di Uni Soviet, mayoritas masyarakat pekerja terdiri atas para petani yang karena jumlahnya yang besar, kekayaan tradisi berorganisasinya dan luasan aparatus organisasi kependetaan yang telah bergaul dengannya selama berabad-abad, akan memunculkan ‘problem-problem yang inheren dalam hegemoni kaum proletariat’ dalam bentuk yang lebih akut jika dibandingkan di Rusia. Bahkan, keunggulan relatif industri di Italia tak banyak membantu kaum proletariat Italia karena tak adanya semua bahan mentah yang paling penting. ‘Karena itu, kaum proletariat hanya akan bisa menjalankan fungsi kepemimpinannya jika dia diliputi dengan semangat pengorbanan dan telah membebaskan dirinya sepenuhnya dari setiap residu paham korporatisme sindikalis atau reformis.’
Ada juga banyak halaman yang dicurahkan untuk membahas problem Italia Selatan itu dalam Prison Notebooks. Kemiskinan Mezzogiorno, tulis Gramsci dalam sebuah tulisan yang sangat terkenal dari karynya Il Risorgimento, ‘tak bisa dipahami oleh para buruh di Italia Utara sepanjang mereka tak memahami bahwa proses penyatuan secara historis wilayah nasional berlangsung bukan di atas landasan kesetaraan, namun di atas landasan disparitas yang kuat sampai pada tingkatan dimana Italia Utara masih terus menjadi “gurita” yang bisa menjadi kaya di atas pengorbanan Italia Selatan dan yang ekspansi ekonomi industrinya memiliki hubungan langsung dengan pemiskinan ekonomi dan pertanian Italia Selatan. Masyarakat Italia Utara malah beranggapan bahwa jika Italia Selatan tidak mencapai kemajuan setelah dibebaskan dari belenggu yang dipasangkan oleh rezim Bourbon ke kaki mereka karena menentang pembangunan modern, maka hal ini berarti bahwa penyebab-penyebab kemiskinan itu tidak berada di luar Italia Selatan, di luar kondisi-kondisi ekonomi-politik yang obyektif, namun dalam diri, melekat pada diri penduduk Italia Selatan sendiri. Masyarakat Italia Utara beranggapan demikian terutama karena berurat berakarnya ide mengenai kekayaan alam dari tanah. Jika tanah di Italia Selatan adalah kaya, maka hanya ada satu penjelasan yang mungkin mengapa kemiskinan tetap ada, yaitu karena ketidaksanggupan secara organis orang-orang Italia Selatan, watak barbar mereka dan inferioritas biologis mereka’. Namun, sejarah bisa memberikan penjelasan atas ketimpangan ini karena selama Risorgimento-lah ‘hubungan historis antara Italia Utara dan Italia Selatan telah terjalin dalam bentuk embrio, sebuah hubungan yang serupa dengan hubungan antara kota besar dan pedesaan yang luas’. Kesalahpahaman anggapan masyarakat Italia Utara tampak jelas selama abad kesembilan belas ketika ‘istilah pencurian bersenjata akan hampir selalu berarti gerakan yang menimbulkan kekacauan dan keresahan, yang ditandai oleh keganasan, yang dilakukan oleh para petani untuk merampas tanah’.
Dalam Gli Intellettuali, Gramsci kembali membahas beberapa tema yang telah dibahasnya dalam karyanya Quistione Meridionale. ‘Massa petani, meski menjalankan sebuah fungsi esensial dalam dunia produksi, namun tidak mengembangkan intelektual “organik”-nya sendiri dan tidak “mengasimilasikan” kelompok intelektual “tradisional” manapun, bahkan meskipun kelompok-kelompok sosial yang lain memunculkan banyak intelektualnya dari kalangan massa petani, dan sebagian besar dari para intelektual tradisional berlatar belakang petani.’ Bahkan, Lettere dal carcere juga dipenuhi dengan nada-nada tulisan yang mengingatkan kita kembali akan tema ini. Dalam surat-surat itu, problem petani ‘muncul kembali’ dalam gaya ironi khas Gramsci, yang terasa begitu sederhana saat dia menceritakan dirinya dan apa-apa yang menjadi perhatiannya, yang jauh dari menimbulkan perasaan sentimental inferior apapun saat membahas hal-hal dan individu-individu dalam dunianya. Sudah lazim diketahui betapa seringnya Italia Selatan hadir dengan realitasnya, dengan penderitaan-penderitaannya, dengan kemiskinannya yang beradad-abad dalam sumsum tulangnya Gramsci, dalam sumsum tulang keluarganya dan yang dicintainya. Dalam salah satu suratnya, yang ditulis pada tanggal 5 Maret 1928 kepada saudara ipar perempuannya, Gramsci menulis, ‘Juga dalam sebuah buku paling baru karya Michels, dikatakan ulang bahwa rata-rata petani Calabria, meski buta huruf, lebih pandai ketimbang rata-rata profesor Jerman, sehingga banyak orang lalu merasa terbebas dari tugas untuk menghapuskan kebutahurufan di Calabria’. Surat-surat Gramsci penuh dengan hasil-hasil pengamatan ini, yang meski terlihat tak sungguh-sungguh dan tanpa arti, namun sesungguhnya sangat bermakna dan original. Dia menulis, misalnya, kepada istrinya, Julia, mengenai anak laki-lakinya, Delio, yang akan tumbuh remaja saat ayahnya akan mengakhiri masa hukuman yang dikanakan padanya, ‘Namun, terbersit dalam bayanganku bahwa dia akan memiliki anak karena jika kota ini ingin membela diri dari invasi dari pedesaan dan tidak kehilangan hegemoni historisnya, generasi-generasi baru harus mengubah cara pandang mereka mengenai melahirkan keturunan, terutama di kota tempatmu berada. Jika kota itu tumbuh di atas landasan kedatangan imigran dan bukan karena kekuatan untuk melahirkan generasi barunya sendiri, maka apakah kota itu akan sanggup memenuhi fungsi utamanya ataukah sebagaimana pengalaman-pengalaman yang lalu, kota itu akan dipenuhsesaki oleh anak-cucu petani?’ Bagi Gramsci, setiap momen, setiap topik maupun setiap orang merupakan sebuah kesempatan, sebuah petunjuk betapapun insidental sifatnya bagi sebuah refleksi yang lebih dalam, bagi sebuah penelaahan yang lebih tepat sehingga bisa berkembang analisis yang kemudian menjadi karya seumur hidupnya.

Read more...

SERIKAT BURUH: HUBUNGAN ANTARA SERIKAT BURUH DAN PARTAI

‘Jika serikat-serikat buruh telah memilih secara spontan seorang anggota partai sebagai pemimpin mereka, itu berarti bahwa serikat-serikat buruh itu secara sukarela bersedia menerima arahan-arahan dari partai.’
(Gramsci, dalam Passato e presente)

Catatan-catatan penting Gramsci mengenai serikat buruh, dan relasi antar serikat buruh, serta mengenai relasi hakiki antara serikat buruh dan partai ditulis hampir seluruhnya selama periode antara tahun 1919 dan 1922. Catatan-catatan itu dimuat dalam mingguan atau harian Ordine Nuovo pada saat ketika keputusan untuk menanggalkan paham reformisme dalam tubuh Partai Sosialis dan untuk membentuk sebuah partai yang revolusioner telah menjadi matang dalam pemikiran Gramsci dan yang lainnya. Namun, terdapat catatan-catatan menarik mengenai tema ini, termasuk dalam Prison Notebooks -yang karena alasan-alasan yang bisa dimaklumi karena adanya sensor politik dan yang terutama karena pengunduran diri Gramsci dari dunia politik aktif, menjadikan catatan-catatan Notebooks mengenai tema ini tampak jauh berbeda dari watak dari yang sebelumnya.

Ada begitu banyak polemik, terutama dalam tahun-tahun terakhir ini, mengenai dewan pabrik dan mengenai arti penting dari konsep ini dan dari perealisasian konsep tersebut bagi Gramsci. Tanpa berniat untuk menyangkal bahwa dewan-dewan pabrik merupakan ide par excellence (ide terbaik) dimana di seputar ide itu, pertempuran politik dan perjuangan kultural dari mingguan Ordine Nuovo berlangsung -karena Gramsci sendiri membenarkan hal itu,- perlu dikatakan dengan segera bahwa arti penting dari ide tersebut telah terlalu dilebih-lebihkan. Gramsci memang menyajikan solusi-solusi yang brilyan dan bernilai baru terhadap problem-problem lain seperti aliansi antara kaum buruh dan kaum petani, penelitian tentang peran yang dimainkan oleh para intelektual dalam sejarah Italia, dsb, namun sejauh mengenai dewan-dewan pabrik, solusi yang diajukannya barangkali terlihat menarik dan bernilai, namun hanya terbatas pada dunia Turin dan pada tahun-tahun selama Gramsci turut dalam dunia politik. Dalam tahun-tahun yang lebih kemudian, pada saat dia menjadi seorang pemimpin dan kemudian sekretaris Partai Komunis, Gramsci jarang membicarakan tentang dewan-dewan pabrik. Dia juga tak menyebut secara langsung ide mengenai dewan-dewan pabrik dalam Prison Notebooks meski Notebooks telah menjadikan sebagai pusat bahasannya tema-tema (seperti kaum intelektual, partai, hegemoni) yang telah ditetapkan dan dikembangkan Gramsci selama masa penempaan politiknya pada masa-masa perjuangan.
Penjelasan di atas perlu disebutkan. Namun, penjelasan ini diajukan bukan dalam rangka seperti yang dilakukan dalam perdebatan tanpa hasil yang baru-baru ini berlangsung antara para sejarawan dan para sarjana yang mempelajari karya-karya Gramsci yang terbelah menjadi dua pihak dalam hal mengenai garis ‘Leninis’ yang murni dalam argumen Gramsci di sana-sini. Sebenarnya, pembacaan secara sekilas terhadap karya Gramsci sudah cukup untuk membuat orang menjadi segera sadar bahwa, dengan pengecualian beberapa catatan dalam Passato e presente, bahasan tentang serikat-serikat buruh dan relasi mereka dengan partai, dan mengenai dewan-dewan pabrik hampir tak ada sama sekali dalam seluruh isi Notebooks dan juga sebagian besar tak muncul dalam artikel-artikelnya yang dimuat sebelum atau setelah dimuatnya artikel-artikel tentang tema-tema tersebut dalam L’Ordine Nuovo.
Dalam sebuah catatan ringkas yang diterbitkan pada tahun 1918 dalam Il Grido del Popolo, Gramsci memulai analisisnya mengenai serikat-serikat buruh dengan menegaskan bahwa ‘kemunculan koperasi-koperasi pertanian dan pengelompokan-pengelompokan mereka ke dalam serikat-serikat buruh haruslah menjadi sebuah fenomena yang bersifat spontan’. Dan beberapa bulan kemudian, Gramsci berhadapan dengan problem fundamental mengenai relasi antara serikat-serikat buruh dan partai. Konfederasi Buruh (General Confederation of Labour) berada di tangan kaum reformis, di tangan ‘elemen-elemen borjuis kecil’ dan turut berperanan dalam memperkuat sistem kapitalis. Inilah yang menjadi alasan mengapa terjadi konflik antara CGL dan partai, yaitu konflik antara sebuah organisme yang berupaya untuk menyembunyikan dirinya ‘di bawah kedok efisiensi teknik’ dengan sebuah organisme yang berupaya untuk terlibat dalam politik di arena perjuangan kelas. Di sisi lain, konflik ini tak akan dan tak akan mungkin bisa menjadi krisis yang bersifat meluas karena krisis dalam tubuh CGL hanya merupakan krisis dari para pemimpinnya, dan karena itu bisa dengan mudah diselesaikan jika seluruh kamerad telah memutuskan untuk berpartisipasi secara lebih aktif dalam kehidupan dan perjuangan serikat buruh.
Bahasan historis mengenai asal-usul, batas-batas dan fungsi dari serikat-serikat buruh menjadi berkembang seiring dengan munculnya mingguan Ordine Nuovo. Serikat buruh, kata Gramsci, berjasa dalam mengorganisir secara pertama kali kelas buruh dan perjuangan kelas, namun karena struktur mereka sendiri, mereka tak bisa bekerja demi sebuah tujuan revolusioner, yaitu perebutan kekuasaan. Sayangnya, seluruh pencapaian yang telah dicapai oleh serikat buruh sejauh ini malah membuat tatanan yang ada, hak milik pribadi dihargai. ‘Jam kerja delapan jam per hari, kenaikan gaji, dan keuntungan-keuntungan yang didapat dari undang-undang yang tidak mengancam laba.’ Para pemilik hak milik pribadi yang borjuis tentu saja memiliki cara-cara yang berlimpah untuk memindahkan beban ‘meningkatnya biaya-biaya umum dari produksi industri baik kepada massa cair dalam negeri maupun kepada masyarakat jajahan’. Paham “serikat buruh-isme” telah mengikuti jalan yang dibangun di atas landasan niat baik, namun yang penuh dengan ilusi yang maha besar. Orang tak bisa berharap akan bisa mentransformasi sebuah situasi obyektif dengan cara melakukan reformasi-reformasi kecil-kecilan atau bahkan dengan konsesi-konsesi yang bisa dirampas begitu saja setelah perjuangan berat bulan demi bulan: ‘Kediktatoran proletariat ingin menggulingkan tatanan produksi yang kapitalis, ingin menghapuskan hak milik pribadi, karena hanya dengan ini, eksploitasi atas manusia bisa dihapuskan. Kediktatoran proletariat ingin menghapuskan perbedaan kelas, ingin menghapuskan perjuangan kelas karena hanya dengan begitu emansipasi kelas buruh bisa lengkap.’ Karena itu, adalah perlu untuk berjuang mentransformasi esensi dari serikat-serikat buruh (yaitu dalam hal fokus perjuangan mereka pada isu-isu mengenai ‘roti dan mentega’ saja!), dan menyingkirkan dari posisi kepemimpinan ‘beberapa individu’ (yaitu inteligensia yang terbatas) yang pada saatnya akan bisa melemahkan kehendak massa’. Adalah perlu barangkali untuk memahami bahwa ‘paham “serikat buruh-isme” hanya bisa revolusioner ketika ada kemungkinan gramatikal untuk mengkombinasikan antara dua kata tersebut, yaitu serikat buruh dan revolusioner’.
Orang harus sadar bahwa dalam proses perkembangannya, paham serikat buruh-isme telah memperlihatkan diri sebagai sebuah bagian dari masyarakat borjuis, dan bukan sebagai sebuah perjuangan melawan masyarakat borjuis atau sebagai sebuah cara untuk menaklukkan masyarakat borjuis. Kita harus memulai lagi dari unit yang fundamental, yaitu dari pekerja yang sanggup ‘memahami dirinya sendiri sebagai seorang produsen’, yang sanggup melihat dirinya sendiri sebagai bagian dari proses produksi secara umum, dan yang tak pernah melupakan seluruh saudara sesama buruh, seluruh buruh dan rasa kolektivitas buruh. Maka, adalah perlu untuk menentang bentuk paham serikat buruh yang reformis dan bentuk paham serikat buruh yang revolusioner semu. Paham individualisme dan pribadi harus diatasi, dan adalah perlu untuk memulai sebuah proses historis yang besar dimana di dalamnya massa buruh menjadi sadar akan kesatuannya yang tak terpisahkan yang didasarkan pada produksi, pada aksi kerja yang kongkret, dan memberi bentuk organik terhadap kesadaran ini dengan jalan membangun hirarki bagi dirinya sendiri. Ini merupakan sebuah proses historis yang maha besar yang ‘akan secara tak terelakkan berpuncak dalam kediktatoran kaum proletariat, dalam Komunis Internasional’. Sudah tiba saatnya bagi kelahiran gerakan delegasi bengkel kerja di Turin, kelahiran dewan-dewan pabrik di Turin.. Dan Gramsci sendirilah yang mengkaitkan gerakan ini dengan pengalaman Lenin: ‘Konsepsi sistem dewan-dewan pabrik yang dibentuk di atas dasar massa buruh yang diorganisir sesuai dengan tempat kerja, dengan unit-unit produksi, mengambil inspirasinya dari pengalaman historis yang kongkret kaum proletariat Rusia’.
Gramsci berulang kali menggarisbawahi perbedaan fundamental antara gerakan dewan pabrik dengan bentuk-bentuk serikat buruh yang telah ada lebih dulu, baik yang berwatak reformis maupun revolusioner semu. Jika ‘periode saat ini merupakan periode yang revolsuioner’, maka serikat buruh dan aksi politik dari massa dan para pemimpin mereka haruslah juga berwatak revolusioner. Gerakan dewan-dewan pabrik harus memiliki karakteristik-karakteristik ini, dan menjawab kebutuhan-kebutuhan historis yang baru. ‘Kelahiran dewan-dewan buruh pabrik merepresentasikan sebuah kejadian historis yang besar, merepresentasikan awal dari sebuah era baru dalam sejarah umat manusia. Karena dewan pabrik itulah, proses revolusioner muncul ke permukaan dan memasuki fase dimana di dalamnya dewan pabrik bisa tampil dan membuktikan diri.’ Setiap dewan pabrik harus menjadi unit dari sebuah gerak perkembangan yang akan berpuncak dalam Komunis Internasional. Karakter revolusioner dewan-dewan pabrik itu akan menciptakan sebuah tipe hubungan yang baru antara serikat buruh dan partai, sebuah tipe hubungan yang telah terlihat secara implisit dalam pembentukan dewan-dewan pabrik tersebut: ‘Partai dan serikat buruh tidak boleh memunculkan diri sebagai guru atau sebagai superstruktur yang telah ada sebelumnya dari institusi baru ini, yang merupakan institusi hasil perwujudan kongkret dari proses historis revolusi. Alih-alih, partai dan serikat buruh harus menjadi agen-agen pembebasan yang secara sadar membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan penghalang yang dimunculkan oleh Negara borjuis. Partai dan serikat buruh harus berupaya untuk mengorganisir kondisi-kondisi eksternal (kondisi politik) secara umum yang memungkinkan proses revolusioner bisa berkembang dengan paling pesat, yang memungkinkan kekuatan-kekuatan produktif liberal bisa mencapai perluasannya secara paling luas.’
Kutipan di atas telah menimbulkan kontroversi yang tiada henti di kalangan para penafsir Gramsci. Tentu saja Gramsci menegaskan sifat otonomi dari perkembangan dewan-dewan pabrik, baik dalam relasinya dengan serikat buruh maupun dengan partai. Bahkan, dia menempatkan dewan-dewan pabrik di atas keduanya dalam hal arti pentingnya. Peran serikat buruh dan partai haruslah hanya untuk membersihkan berbagai jenis rintangan yang dibuat oleh kaum borjuis dari jalan revolusioner yang dilewati oleh dewan-dewan pabrik. Namun, jangan kita lupakan bahwa Gramsci menulis baris-baris kalimat tersebut ketka dia masih menjadi seorang militan dalam Partai Sosialis, dalam sebuah partai yang semakin menunjukkan sifat parlementer dan reformisnya. Setelah pengalamannya sebagai pemimpin dan sekretaris Partai Komunis, yaitu selama tahun-tahun dia dipenjara, dia menulis sebuah catatan mengenai tema dewan pabrik ini dengan penitikberatan yang sangat berbeda: ‘Haruskah serikat-serikat buruh tunduk pada partai? Adalah kekeliruan jika kita mengajukan pertanyaan semacam itu. Pertanyaan itu harus diletakkan dalam kerangka prinsip berikut: setiap anggota partai, apapun posisi yang dia jabat atau apapun tugas yang dia jalankan, selalu merupakan anggota partai dan selalu tunduk pada kepemimpinan partai. Jadi, tak mungkin ada subordinasi antara serikat buruh dan partai. Jika serikat-serikat buruh telah memilih secara spontan seorang anggota partai sebagai pemimpin mereka, itu berarti bahwa serikat-serikat buruh itu secara sukarela bersedia menerima arahan-arahan dari partai, dan karena itu bersedia secara sukarela menerima (bahkan menginginkan) kontrol partai atas para pemimpin serikat-serikat buruh.’ Rasanya penting bagi kita untuk menggarisbawahi arus ‘satu arah’ dalam pemikiran Gramsci tersebut yang selalu dimulai dari pengakuan secara tegas akan eksistensi dan arti penting partai agar kemudian partai bisa bercabang ke arah-arah lain. Namun, mari kita kembali ke tahun-tahun semasa Gramsci terlibat dalam L’Ordine Nuovo.
Dewan-dewan pabrik, menurut Gramsci, mengandaikan sebuah kematangan politik yang tidak selalu ada dalam strata proletarian dalam masyarakat. Pengalaman Rusia sendiri sangat sering memunculkan disintegrasi dewan-dewan pabrik karena massa petani yang besar jumlahnya, ketika dilibatkan secara paksa dan tergesa-gesa ke dalam proses produktif, tak sanggup mengembangkan sebuah pengelolaan yang mandiri, tak sanggup mengelola sendiri industri. Dewan pabrik haruslah memiliki isi yang original jika dibandingkan dengan gagasan serikat buruh yang lama sehingga perealisasian dewan pabrik yang lengkap dan sempurna hanya akan bisa berlangsung dalam lingkungan-lingkungan yang luar biasa, dimana kaum proletariat telah siap dan sadar serta cukup matang untuk memikul segenap tanggung jawab proses produktif. Dan hal ini bisa demikian karena ‘kami memahami dewan pabrik sebagai sebuah institusi yang sangat original, yang berlokasi secara unik dalam lingkungan-lingkungan yang diciptakan oleh struktur kapitalisme untuk kelas buruh dalam periode historis saat ini. Dewan pabrik merupakan sebuah institusi yang tak boleh dikacaukan dengan serikat buruh, yang tak boleh dikoordinasikan oleh dan disubordinasikan pada serikat buruh. Justru, sejak kemunculan dan perkembangannya, dewan pabrik-lah yang akan menentukan perubahan-perubahan radikal dalam struktur dan bentuk serikat buruh.’ Relasi antara dewan pabrik dan serikat buruh sulit dan akan tetap sulit karena sementara serikat buruh tidak mempersoalkan dunia industri dimana di dalamnya dia tumbuh, ‘Dewan pabrik merupakan negasi atas keabsahan dunia industri yang cenderung ingin dihancurkannya dalam setiap bentuknya. Dewan pabrik secara terus-menerus berkecenderungan membawa kelas buruh pada perebutan kekuasaan industrial, mengubah kelas buruh menjadi sumber kekuasaan industrial.’ ‘Dalam situasi Italia,’ yang terjadi justru sebaliknya, ‘pejabat serikat buruh memandang keabsahan dunia industri sebagai sesuatu yang permanen.’
Pada bulan Juli 1920, Gramsci mengirimkan sebuah laporan mengenai gerakan dewan pabrik di Turin kepada Komite Eksekutif Komunis Internasional. Setelah menggarisbawahi bahwa ‘yang menjadi kepala dari gerakan pembentukan dewan-dewan pabrik ialah kaum komunis yang menjadi anggota cabang dari Partai Sosialis dan organisasi-organisasi serikat buruh’, kata Gramsci secara panjang lebar mengenai pembentukan dewan-dewan pabrik dan mengenai antusiasme yang muncul sebagai dampak atas pembentukan dewan-dewan pabrik di kalangan buruh di Turin. Apa yang terasa penting ialah bahwa karena ada kemungkinan bahwa pembahasannya akan menjadi ‘bersifat teknis’, maka laporan Gramsci itu diperluas mencakup seluruh tema fundamental dari perjuangan politik. Termasuk di dalamnya pengakuan terhadap adanya ‘kebutuhan akan kedisiplinan dan kediktatoran’, dan sebuah pernyataan bahwa kelompok Ordine Nuovo selalu berusaha mengikuti ‘prinsip bahwa pembentukan daftar calon harus dilakukan di kalangan massa kelas buruh dan bukan dari puncak birokrasi serikat buruh’. Kelompok itu juga memandang penting problem ‘pengalihan perjuangan serikat buruh dari medan korporatis dan reformis yang dangkal ke arena perjuangan revolusioner untuk merebut kontrol atas produksi dan untuk mendirikan kediktatoran kaum proletariat’.
Dalam perluasan yang dilakukan Gramsci terhadap tema-tema ini, dalam penyelidikannya mengenai sebab-sebab mendalam dari pilihan-pilihan keputusannya, terdapat dorongan kuat untuk menguji diri yang mungkin akan menimbulkan pengalaman pahit bagi seluruh kelas buruh Italia. Menurutnya, hanya dengan ini, kita akan mungkin bsa memahami sebab-sebab terjadinya kesalahn-kesalahan yang telah dilakukan oleh gerakan buruh. Hanya dengan begitu, menjadi mungkin bagi kita untuk memahami bahwa ‘ketidaksepakatan antara kaum revolusioner dan kaum reformis mengenai tugas-tugas serikat-serikat buruh merupakan ketidaksepakatan antara birokrasi serikat buruh -yang telah memusatkan seluruh fungsi politik organisasi buruh dalam dirinya- dengan massa yang terorganisir’. Argumen ini diajukan secara tajam untuk melawan para pemimpin Konfederasi Buruh (CGL), melawan ‘kaum mandarin’, melawan semua birokrat dan pejabat serikat buruh. Kadangkala muncul kecurigaan, kata Gramsci, bahwa CGL hanya ada untuk menaikkan gaji para pejabatnya, untuk melapangkan jalan ‘bagi kecongkakan rendah para pejabat CGL yang ingin menaikkan diri mereka sendiri ke puncak piramid dari dua juta buruh yang terorganisir, dan yang ingin berkata secara angkuh: kami, beberapa individu, sama besarnya dengan dua juta orang dan kami harus dianggap sebagai wakil-wakil dari dua juta orang itu’. Karena dipimpin oleh kaum reformis, CGL bukan saja telah menanggalkan jalan paham serikat buruh revolusioner, namun bahkan secara aktual kehilangan kemampuannya untuk mengimplementasikan corak politik ‘roti dan mentega’ yang telah mereka tunjukkan secara demikian efisien di masa lalu. Sebagai misal, harga roti kemudian menjadi naik. Kaum komunis harus mengakui bahwa inilah realitas yang ada dan memandang CGL sama seperti organsasi borjuis lainnya, ‘yaitu sebagai sebuah organisasi dimana kekuasaan tak akan bisa dimenangkan dengan cara-cara yang konnstitusional’. Perjuangan bagi pembentukan dewan-dewan pabrik ini akan memungkinkan mayoritas untuk meraih kemenangan dalam tubuh CGL, namun untuk mencapai tujuan ini, adalah perlu untuk membentuk dan mengembangkan dewan-dewan pabrik ‘yang merupakan perjuangan spesifik dari Partai Komunis’. Adalah perlu untuk tahu bagaimana meyakinkan massa serikat buruh bahwa para pemimpin mereka tak lagi menjadikan perjuangan kelas sebagai tujuan, tak lagi memandang kaum borjuis, namun justru kaum komunis-lah, sebagai musuh yang harus dilawan, dan tak lagi mewakili massa. Hal inilah yang harus selalau diklarifikasi dan dielaborasi secara lebih seksama demi kepentingan-kepentingan kesadaran proletarian.
‘Kaum mandarin’ dalam tubuh serikat buruh tak lagi berniat untuk melawan penyebaran fasisme. Namun, anehnya mereka malah terpilih untuk mengorganisir kekuatan-kekuatan kelas buruh dan mengorganisir perlawanan kaum proletariat. Maka, sejak itulah, para pejabat dari birokrasi baru ini bukannya menjadi pejuang-pejuang kelas buruh. Mereka tak lagi berhasil dalam beraksi melawan serangan-serangan pihak majikan. Bahkan jika ‘para pekerja FIAT adalah manusia-manusia yang berdarah-dan-berdaging, perlawanan dan semangat pengorbanan mereka tak boleh disalahgunakan dan mereka harus diperlakukan seperti layaknya manusia-manusia yang nyata’. ‘Optimisme revolusioner kita harus selalu dikuatkan oleh visi realitas manusia yang sangat pesimistik ini, dan kita harus selalu memperhitungkan hal ini.’ Bahkan jika perjuangan itu berlangsung kejam, kaum revolusioner harus menggunakan setiap energinya untuk memulihkan kehendak revolusioner massa dan menyelamatkan mereka dari pengaruh buruk kaum reformis dan para pengkhianat. ‘Pesimisme kita boleh menguat, namun kehendak kita tak boleh lenyap.’

Read more...

PERJUANGAN POLITIK: PARTAI, PERSATUAN GERAKAN KELAS BURUH DAN PENGAMBILALIHAN KEKUASAAN

‘Partai kita bukanlah sebuah partai yang demokratis, paling tidak dalam artian yang tradisional yang biasanya dilekatkan pada kata tersebut.’
(Gramsci, Mei 1925)

‘Partai Sosialis berbeda secara fundamental dari partai-partai politik lainnya. Partai Sosialis bukanlah sebuah partai dalam artian organis dan klasik dari kata tersebut. Partai-partai politik pada umumnya adalah juru bicara dari kelompok-kelompok sosial, bukan dari sebuah kelas. Hanya dalam keseluruhannya, partai-partai politik itu merepresentasikan sebuah kelas yang memiliki organ eksekutifnya dalam Negara. Sedangkan, Partai Sosialis adalah anti-Negara, bukan sebuah partai. Kelompok-kelompok borjuis ingin mengubah Negara secara setengah-setengah melalui partai-partai mereka, dan lebih mengarahkan Negara ke satu arah tertentu ketimbang ke arah yang lain. Sedangkan Partai Sosialis ingin membentuk kembali Negara, dan bukan ingin memperbaikinya. Partai Sosialis ingin mengubah segenap nilai-nilai Negara. Partai Sosialis ingin melakukan re-organisasi Negara, mendasarkan Negara pada kekuatan-kekuatan sosial dan prinsip-prinsip etis yang sama sekali berbeda dari yang ada.’


Gramsci menulis hal ini dalam Il Grido del Popolo pada tanggal 2 Maret 1918, beberapa bulan sebelum akhir Perang Dunia Pertama. Pada saat itu, dia telah menjadi seorang jurnalis selama beberapa tahun dan sudah tiba saatnya baginya untuk mengembangkan dan merefleksikan sejumlah tema fundamental dari gerak langkahnya. Sejak awal, salah satu tema fundamental itu ialah tema mengenai partai – yaitu mengenai demokrasi kaum buruh, birokrasi, sentralisme, pengkultusan individu... Sebuah tema besar yang dianggap terpenting oleh Gramsci. Dalam perjuangan untuk mengambilalih kekuasaan, kekuatan dari sebuah kelas sosial, kata Gramsci, direpresentasikan oleh partai, yang merupakan ‘elaborator atas bentuk-bentuk dan cara-cara yang memungkinkan kelas untuk mencapai kemenangannya’. Jika partai betul-betul ingin menjadi seperti seharusnya partai yang sanggup mengambilalih kekuasaan, maka partai itu ‘pada saat yang bersamaan harus menjadi kelas di atas landasan ekonomi’; pada saat yang bersamaan, partai itu harus menjaga agar dirinya tidak mengalami chaos dan berubah-ubah secara terus-menerus. Partai itu juga harus tahu bagaimana tetap menjadi otonom dan memiliki kekhasan. Partai itu harus tahu bagaimana ‘menegaskan kepribadiannya yang unik.’
Partai adalah massa. Adalah keliru untuk percaya bahwa partai dan rakyat adalah dua hal yang berbeda; adalah keliru untuk mempercayai bahwa tak perlu untuk mendidik massa secara politik hanya karena dominasi kaum borjuis menghalangi hal tersebut. Sama pula, adalah keliru untuk berpandangan bahwa perlu untuk melangkah secara cepat ke fase revolusioner dan untuk merebut kekuasaan atas dasar kepercayaan bahwa hanya dengan begitu, setelah kekuasaan berhasil direbut, menjadi mungkin untuk mencapai sebuah kerja pendidikan politik yang luas dan mendalam. ‘Karena itu, Leonetti1 berbicara tentang “kita” dan “rakyat” seolah-olah keduanya adalah entitas yang terpisah: dimana kita (siapakah dia?) sebagai partai aksi, dan rakyat sebagai sebuah kawanan kaum buta dan bodoh. Dan dia mengartikan partai aksi bukan seperti partai aksi saat ini -yang terbentuk oleh perjuangan politik modern yang melibatkan propaganda dan dimana di dalamnya ada begitu banyak pihak yang terlibat-, namun seperti yang dipahami oleh carbonari pada tahun 1848, yaitu sebagai perbenturan sosial antara empat konspirator melawan empat polisi yang berseragam yang bisa menghasut emosi massa.’ Mengorganisir massa dalam jumlah besar sendiri memunculkan problem-problem lain: ‘Bisa ditegaskan bahwa organisasi akan menjadi sebuah perintang bagi masa depan sosialis manakala organisasi tersebut menjadi tujuan-dalam-dirinya-sendiri, manakala organisasi tersebut tersusun dari sempalan-sempalan kelas yang masing-masing memiliki semangat korporatismenya sendiri, atau yang lebih buruk memiliki arah yang berbeda-beda. Ada banyak contoh mengenai hal ini seperti yang sudah banyak diketahui.’ Jadi, tugas besar dari para pemimpin sebuah partai masih tetap ialah untuk menjaga agar organisasi tidak menjadi sebuah tujuan-dalam-dirinya-sendiri, dan yang terutama tidak melemahkan atau membengkokkan motif revolusioner dari kelas yang terorganisir. Tak ada satu tujuan politik yang boleh diabaikan, tak boleh ada satu pun tugas kolektif yang harus diubah: ‘Partai Sosialis tak boleh eksis jika tidak sepenuhnya menjalankan segenap tugas-tugasnya, jika tidak menegaskan diri sepenuhnya dalam semua aktivitasnya yang kompleks dan beragam itu.’
Partai Sosialis menjadi sebuah instrumen bagi demokrasi proletarian dan dalam artian ini, partai tersebut bisa didefinisikan sebagai ‘teladan’. Partai ini sungguh merupakan model bagi sebuah masyarakat yang secara sukarela menjalankan kedisiplinan dan yang melakukan hal tersebut di atas kesadaran utuh akan arti penting kedisiplinan. Masyarakat komunis hanya akan bisa dibangun melalui sebuah gerakan massa secara besar-besaran melalui organ-organ perjuangan mereka, dan yang terutama lewat partai: ‘Partai Sosialis jelas merupakan “agen” paling penting dari proses disintegrasi dan rekonstruksi masyarakat ini menjadi masyarakat komunis, namun Partai bukanlah dan tak boleh dipandang sebagai perwujudan dari proses pembentukan masyarakat komunis, sebagai sebuah wujud dari masyarakat komunis itu sendiri yang bentuknya elastis dan bisa dibentuk sesuai dengan tingkah polah para pemimpin Partai. Tujuan partai ialah untuk mengakhiri rezim ekonomi musuh, merebut basis alamiah dari konsensus demokratis Negara borjuis, dan untuk menjadikan massa paham bahwa kegelisahan mereka bukanlah tanpa validitas sosial, namun merupakan ‘sebuah keniscayaan obyektif’, ‘momen tak terelakkan dari sebuah proses dialektis yang pasti mengarah kepada sebuah peruntuhan bangunan sosial secara penuh kekerasan dan kepada sebuah pembangunan kembali masyarakat.’ Aksi yang harus dikerjakan sungguh besar dan tugas historis yang harus dijalankan banyak sekali, namun hanya dengan cara inilah, partai boleh berharap akan bisa menyatu dengan kesadaran historis dari kaum proletariat dan bisa memimpin gerakan revolusioner tersebut.
Meski begitu, semua itu barulah sebuah fungsi negatif. Namun, hanya dari momen negatif itu, fase pekerjaan yang paling rumit, yaitu fase positif, bermula: ‘Konsepsi-konsepsi yang disebarluaskan oleh partai bergerak secara otonom dalam kesadaran individu dan dalam konfigurasi-konfigurasi sosial yang baru muncul seiring dengan konsepsi-konsepsi ini. Konsepsi-konsepsi ini memunculkan institusi-institusinya sendiri yang berfungsi sesuai dengan hukum-hukum internalnya dan menjadi instrumen-instrumen embrionik dari kekuasaan dimana di dalamnya massa bisa menjalankan pemerintahannya, dimana di dalamnya massa menjadi sadar akan tanggung jawab historisnya dan akan misi pokoknya untuk menciptakan kondisi-kondisi bagi mekarnya komunisme.’ Gerakan ini adalah gerakan oleh massa dan hanya bisa dilakukan oleh massa. Tanpa partisipasi massa, perjuangan politik dari partai tak akan dan tak bisa berarti. Walau begitu, ‘partai harus tetap menjadi hirarki lapis atas dari gerakan massa yang luar biasa ini. Partai akan menjalankan kediktatorannya secara paling efektif karena wibawa yang mereka miliki, karena penerimaan secara spontan dan sadar akan otoritas partai merupakan sesuatu yang tak terelakkan bagi keberhasilan perjuangan yang sedang dijalankan’. Namun, di sinilah ancaman bahaya terbesar bagi revolusi proletarian, yaitu ancaman bahaya yang ada secara imanen dalam struktur hirarkis dari instrumen politik organisasi dan perjuangan, yaitu bahwa di dalam tubuh partai, berkembang konsepsi kekuasaan yang bersifat birokratis, mandegnya gerak perjuangan di pucuk organisasi perjuangan, mandegnya proses-proses dan tujuan-tujuan perjuangan. ‘Semoga saja tidak terjadi bahwa karena dilandasi oleh konsepsi yang sektarian terhadap fungsi partai dalam revolusi, orang lalu berkecenderungan untuk membangun hirarki, membekukan aparatus massa yang dinamis menjadi bentuk-bentuk mekanis dari kekuasaan langsung, dan membatasi proses revolusioner sebatas internal partai. Meski orang memang bisa mengubah sebagian dari umat manusia, orang memang bisa berhasil “mendominasi” sejarah, namun proses revolusioner yang sejati akan sanggup menghindar dari kontrol dan pengaruh partai yang secara tak sadar telah menjadi sebuah organ pelestarian tatanan yang lama.’
Ancaman bahaya terbesar lainnya yang harus dihindarkan oleh partai ialah bahaya membatasi diri semata-mata dalam perjuangan merebut kursi di parlemen, menjadi ‘sekedar sebuah partai parlementer dalam demokrasi borjuis, yang hanya peduli dengan pernyataan-pernyataan politik yang superfisial dari kasta yang berkuasa.’ Karena itu, adalah perlu bagi partai untuk paham bagaimana mengubah dirinya sendiri, untuk tahu bagaimana mengembangkan sebuah kepribadian politik yang tegas dan berbeda, dan tahu bagaimana menjadi ‘partai dari kaum proletariat revolusioner yang berjuang demi kebangkitan masyarakat komunis melalui Negara Buruh, menjadi sebuah partai yang kohesif dan homogen yang memiliki doktrin-doktrinnya sendiri, taktik-taktiknya sendiri, dan memiliki kedisiplinan yang kokoh dan tak tertandingi.’ Sebuah perjuangan yang menentukan juga harus dilakukan dalam tubuh partai untuk mengeliminasi segenap kaum reformis, para peragu, para pengkhianat sosial, kaum faksionalis, dan semua yang meremehkan keutuhan, persatuan dan kekuatan partai: ‘Mereka yang bukan kaum komunis yang revolusioner harus dieliminasi dari partai. Kepemimpinan partai harus bebas dari kesibukan menjaga persatuan dan keseimbangan di antara tendensi-tendensi yang berbeda dan beragam pemimpin dalam tubuh partai. Kepemimpinan partai harus mengarahkan segenap energinya untuk mereorganisasi kekuatan-kekuatan kelas buruh dalam situasi perang.’
Bagaimana mungkin partai bisa mempertahankan dinamika revolusionernya, menghindarkan dirinya dari tugas-tugas fundamental perjuangan politik, dan untuk selalu secara terus-menerus mendengar suara dan menginterpretasikan kehendak massa? Termasuk dalam tugas ini tentu saja ialah terus mempertahankan kontak dengan cabang-cabang partai. Partai haruslah ‘menjadi kekuatan penggerak dari aksi proletarian dalam segenap aspeknya’. Namun, apakah sudah cukup hanya dengan mengeliminasi semua bahaya birokratisasi, semua bahaya involusi? Dan apakah hubungan antara massa dan partai itu bersifat sederhana atau kompleks? Apakah arti dari ‘demokrasi’ dalam tubuh partai atau apakah yang mungkin menjadi artinya? Sebagai misal, para buruh kadangkala perlu diundang untuk memberikan suara dalam sebuah referendum. Namun, metode ini ‘terlalu demokratis dan anti-revolusioner. Metode itu malah memperkuat massa cair dari masyarakat dan melemahkan garda depan yang bertugas membimbing massa dan menanamkan kesadaran politik ke dalam diri massa.’ Kaum sosialis memang tak lagi harus percaya, seperti halnya kepercayaan Marx atas kelas buruh pada masanya, bahwa massa itu tak lebih dari segerombolan manusia yang seragam kesadarannya. Menurut Gramsci, meski telah berlangsung penyebarluasan kesadaran kelas, namun tetap bisa dikatakan bahwa sebuah aksi revolusioner hanya bisa dipimpin oleh sebuah garda depan revolusioner, oleh sebuah elit kekuasaan yang siap dan sadar. ‘Para pemimpin gerakan kelas buruh harus mendasarkan diri mereka pada “massa”. Dengan kata lain, mereka harus meminta kesepakatan terlebih dahulu dari massa untuk setiap aksinya, dan bermusyawarah dalam bentuk-bentuk dan waktu-waktu yang mereka pilih. Namun, sebuah gerakan revolusioner tetap harus didasarkan pada garda depan proletarian, dan harus dipimpin tanpa harus terlebih dahulu bermusyawarah, tanpa harus membentuk sebuah aparatus dewan perwakilan buruh. Revolusi tak berbeda dengan perang, dan karena itu harus dipersiapkan secara seksama oleh sebuah komando tertinggi kaum buruh, sebagaimana halnya perang dipersiapkan oleh komando tertinggi angkatan bersenjata. Dewan perwakilan buruh hanya bisa meratifikasi apa-apa yang telah terjadi, memberikan pujian atas keberhasilan, dan menghukum kegagalan-kegagalan yang tak bisa dimaafkan.’ Revolusi tak pernah boleh diputuskan oleh massa, tak boleh merupakan hasil keputusan dewan perwakilan buruh atau merupakan kehendak dari sebuah referendum umum karena ‘tak ada gerakan revolusioner yang akan dihasilkan oleh sebuah dewan nasional kaum buruh’. Revolusi hanya bisa diharapkan dari, diputuskan oleh dan dipimpin oleh sebuah minoritas yang sangat siap dan sadar, yang harus memberikan penjelasan kepada massa atas perilakunya, dan yang tak boleh kehilangan kontak dengan massa. Jika tidak, revolusi itu akan mengalami kekalahan politik yang tak akan bisa dipulihkan kembali. Tentu saja, ‘menjadi tugas garda depan kaum proletarian untuk menjaga semangat revolusioner yang terus bangkit dalam diri massa, untuk menciptakan kondisi-kondisi dimana massa siap beraksi, dimana massa bisa merespon secara cepat slogan-slogan revolusioner’. Tanpa organisasi politik partai, kelas buruh tak akan pernah bisa memetik buah dari keruntuhan dan disintegrasi Negara borjuis.
Partai Sosialis sendiri tak akan pernah cocok untuk tugas-tugas tersebut, kata Gramsci, karena ‘di dalam dirinya berlangsung kontradiksi yang sama dengan kontradiksi yang menghancurkan Negara borjuis sampai berkeping-keping’. Karena itulah, kehadiran sebuah Partai Komunis yang kuat dan ‘sangat tersentralisir’ merupakan keniscayaan. Partai Komunis itu harus melawan paham reformisme dari para pemimpin serikat buruh dan Partai Sosialis, menentang kecenderungan para pemimpin serikat buruh dan Partai Sosialis itu untuk menjadi independen dari massa: ‘Para pejabat yang reformis akan memandang rendah massa buruh, persis sebagaimana halnya orang-orang mandarin yang berasal dari lapisan atas, mereka yang berasal-usul dari istana kerajaan Cina, akan merendahkan rakyatnya yang bdooh, kotor dan penuh takhyul.’ Para buruh sendiri beresiko dilemahkan oleh partai Sosialis dan oleh serikat buruh, dan beresiko diperintah oleh mesin birokratis yang jauh lebih kuat dan lebih kejam daripada para buruh, yang mengabaikan, melupakan, merendahkan atau mengkhianati para buruh: ‘Satu-satunya garansi terhadap kebebasan dan keamanan bagi para buruh, satu-satunya garansi bahwa para pejabat tak akan menjadi seperti halnya orang-orang mandarin ialah kontrol oleh Partai Komunis, yang telah terbukti tahu bagaimana menerapkan disiplin kepada para anggotanya dan yang tidak takut untuk mengusir “orang-orang yang berkuasa”. Pejabat Komunis dikontrol oleh seluruh organisasi Partai Komunis, oleh cabang federasi provinsi, oleh Komite Eksekutif Nasional, oleh Komite Eksekutif Internasional. Pejabat Komunis tak boleh menjadi seorang mandarin, atau seorang penguasa massa, namun harus menjadi seorang tentara yang berdisiplin demi kepentingan buruh, demi revolusi dunia’.
Semua refleksi ini diambil dari artikel-artikel dan dokumen-dokumen yang ditulis oleh Gramsci antara tahun 1915 dan 1921, dan karena itu, refleksi-refleksi itu dipengaruhi secara langsung oleh perjuangan politik yang kadangkala sangat pahit yang membelah kaum komunis dari kaum sosialis. Gramsci kemudian memiliki kesempatan untuk mengkaji ulang aspek-aspek positif dan negatif dari aktivitas yang dilakukan dalam tahun-tahun tersebut. Dia melakukannya dengan sifat berapi-api dialektisnya yang biasa dalam sebuah surat yang ditulis dari Wina pada tanggal 9 Februari 1924. Keterlibatan massa dalam partai, katanya, telah menjadi minimal. Berbagai cara dilakukan untuk merintangi partisipasi massa, ‘partai tidak dipandang sebagai hasil dari sebuah proses dialektis dimana di dalamnya gerakan spontan dari massa yang revolusioner, organisasi dan kehendak pengarah menyatukan diri. Namun partai dipandang sebagai sesuatu yang agak menggelikan, yaitu sebagai sesuatu yang berkembang dalam dirinya sendiri dan demi dirinya sendiri. Partai dipandang sebagai sesuatu yang harus dipatuhi oleh massa ketika situasi sedang bagus dan gelombang revolusioner tengah mencapai puncaknya, atau jika tidak, ketika pimpinan pusat partai menganggap perlu untuk memulai sebuah serangan ofensif dan karena itu, harus mendekatkan diri kepada massa untuk menstimulus dan menggerakkan massa agar beraksi.’ Partai merupakan sebuah organisme yang rapuh, yang aktivitas-aktivitasnya, yang mekanisme-mekanismenya bisa macet sewaktu-waktu atau menjadi sesuatu yang lain dari yang seharusnya. ‘Sesungguhnya, secara historis sebuah partai tak akan pernah bisa didefinisikan sepenuhnya dan memang tak akan pernah bisa. Hal ini karena partai hanya akan bisa didefinisikan sepenuhnya ketika partai telah menjadi seluruh masyarakat, yaitu ketika partai telah tak ada lagi. Sebelum partai lenyap, yang merupakan tujuan tertinggi dari perealisasian komunisme, partai akan mengalami serangkaian fase temporer dan akan menyerap elemen-elemen baru satu demi satu dengan dua cara yang layak secara historis: yaitu melalui penggabungan individu-individu atau melalui penggabungan kelompok-kelompok, baik kecil atau besar.’
Gramsci juga telah menulis karya yang tajam mengenai partai sebagai ‘Pangeran Modern’ dalam salah satu tulisannya dalam Prison Notebooks: Note sul Machiavelli, sulla politica e sullo stato moderno. Dalam karya ini, dia menyajikan serangkaian hasil pengamatan yang penting. Yang terutama ialah dalam 30 halaman pertama buku tersebut, yang merupakan himpunan dari catatan-catatan yang berserakan dan bahkan saling kontradiksi. Dalam karya itu, pangeran modern dipandang sebagai sebuah organisasi politik: ‘Pangeran modern, pangeran mitos, tak mungkin merupakan seorang person, seorang individu kongkret. Pangeran tersebut hanya sebuah organisme, sebuah elemen kompleks dari masyarakat yang merupakan permulaan kristalisasi dari sebuah kehendak kolektif yang dimiliki bersama, dimana sebagian kehendak kolektif ini terwujud dalam tindakan. Perkembangan historis menjadikan organisme ini sebagai partai politik: pertama sebagai sel yang mengandung beberapa benih dari sebuah kehendak kolektif yang akan menjadi universal dan bersifat total.’ Gramsci juga membahas beberapa kecenderungan dari filsafat kontemporer: ‘Konsepsi Croce mengenai passi-politik mengecualikan partai karena orang tak akan bisa membayangkan adanya sebuah “passi” yang bersifat permanen dan terorganisir’. Gramsci juga melakukan refleksi terhadap jenis politik kelas yang harus diterapkan: ‘Dalam membentuk kepemimpinan, premis berikut bersifat fundamental: apakah orang ingin agar selalu ada yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin, ataukah apakah orang lebih ingin untuk menciptakan kondisi-kondisi dimana kebutuhan akan pembedaan antara pemimpin dan yang dipimpin ini lenyap?’ Gramsci sadar akan kompleksitas dari problem-problem yang ada dalam konteks ini: ‘Ketika seseorang ingin menulis sejarah dari sebuah partai politik, adalah perlu dalam proses penulisannya untuk mengkonfrontasikan keseluruhan problem yang ada, yang sesungguhnya jauh lebih sederhana dari yang dipikirkan’, dan Gramsci memberikan sebuah analisis mengenai metode perjuangan politik: ‘Bisa dikatakan bahwa sebuah partai tak akan bisa dihancurkan dengan cara-cara normal’. Dia juga membuat pengamatan ‘yang menantang’ untuk memperlihatkan bagian dari realitas yang pada saat itu masih belum diketahui dan sengaja diabaikan: ‘Adalah tak mudah untuk mengabaikan kemungkinan bahwa setiap partai politik (apakah kelompok yang mendominasi, atau bahkan kelompok yang tertindas) akan juga memainkan peran polisi, yaitu untuk melindungi tatanan hukum dan politik tertentu’. Gramsci menarik kesimpulan bahwa setiap kelas direpresentasikan oleh satu dan hanya satu partai saja. ‘Kebenaran teoretis bahwa setiap kelas memiliki sebuah partai tunggal ditunjukkan oleh fakta bahwa pada saat-saat peralihan yang menentukan, beragam pengelompokan, yang masing-masing menampilkan dirinya sebagai sebuah partai “independen”, bersatu kembali dan membentuk sebuah blok. Kemajemukan yang ada sebelumnya hanyalah bersifat “reformis”, yaitu hanya berkaitan dengan perkara-perkara parsial’. Gramsci juga mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang signifikan: ‘Apakah aksi politik (dalam artian ketat) menjadi konsep yang perlu untuk menjelaskan sebuah ‘partai politik”?’; dan lebih jauh lagi: ‘Kapan sebuah partai menjadi “perlu” secara historis?’
Namun, tulisan-tulisan yang menurut penilaian kita lebih penting lagi ialah tulisan-tulisan yang termuat dalam Passato e presente, bahkan meski tulisan-tulisan tersebut bersifat fragmenter dan lebih penuh improvisasi: ‘Partai, yang merupakan sebuah embrio bagi struktur Negara, tak akan membiarkan kekuatan-kekuatan politiknya terbagi-bagi. Partai tak akan membiarkan sebagian anggotanya menuntut kesetaraan hak-hak untuk bisa membangun sekutu-sekutu di luar “partai” persis sebagaimana halnya dengan sebuah Negara tak akan membolehkan beberapa rakyatnya untuk membuat sebuah kontrak dengan kekuasaan asing dan di luar hukum bersama secara setara dengan Negara mereka sendiri... Partai-partai politik sesungguhnya tak lain dari tatanama kelas... Partai bukanlah sekedar ekspresi pasif dan mekanis dari kelas-kelas itu sendiri, namun gerak reaksi kuat terhadap kelas-kelas, perkembangan kelas, penggumpalan kelas, universalisasi kelas... Kelas-kelas mengekspresikan partai-partai, partai-partai menghasilkan individu-individu yang duduk dalam Negara dan pemerintahan, para pemimpin civil society dan masyarakat politik... Tak akan mungkin ter pemimpin-pemimpin manakala tak ada kerja doktriner dan teoretis dari partai-partai yang dijalankan.’
Meski demikian, menurut kami, halaman-halaman tulisan Gramsci dalam Prison Notebooks di atas secara umum telah menjadi terlalu dilebih-lebihkan arti pentingnya oleh para pembaca. Kalimat-kalimat di atas memang mengandung hasil-hasil pengamatan yang sangat tajam dan juga penting untuk memahami pemikiran Gramsci mengenai esensi dan fungsi partai. Namun, tak diragukan bahwa catatan-catatan yang bernilai fundamental ialah yang mengenai tema politisi dalam perjuangan aktif, yang ditulis selama periode pembangunan dan pengorganisasian kelas buruh di bawah kepemimpinan dan arahan Gramsci. Iklim politik dan moral pada tahun-tahun tersebut memungkinkan Gramsci untuk mengembangkan penelitiannya dan untuk melanjutkan sebuah bahasan yang semakin lebih dalam lagi, untuk menganalisa tumpukan data yang begitu berlimpah dan untuk mensintesiskan secara kualitatif berbagai hasil pengamatan. Tulisan-tulisan Gramsci, sejak dari tahun-tahun keterlibatannya dalam perjuangan secara aktif sampai dengan saat dia dipenjara, tak diragukan mengandung hasil-hasil pengamatan yang bersifat mendasar, dan menjadi tahap-tahap menentukan dalam pemikirannya di bidang ini karena disemangati oleh gerak pertarungan yang berlangsung hari demi hari.
Penilain ini ditegaskan oleh sebuah dokumen fundamental yang ditulis pada bulan Mei 1925: ‘Partai kita,’ tulis Gramsci dengan penuh wawasan dan pikiran terbuka, ‘bukanlah sebuah partai yang demokratis, paling tidak bukan dalam artian yang biasanya dilekatan pada kata itu. Partai kita merupakan sebuah partai yang tersentralisir, baik secara nasional maupun internasional. Dalam medan internasional, partai kita tak lebih dari sebuah cabang dari sebuah partai yang lebih besar, yaitu partai dunia.’ Tugas pokok dari partai ialah menjaga disiplin baja dengan jalan berjuang melawan ‘benturan yang terus berlangsung di antara faksi, di antara tendensi-tendensi, dan seringkali di antara klik-klik personal’. Di sisi lain, partai tidak boleh jatuh ke dalam bahaya yang sebaliknya, yaitu sentralisasi yang terlalu dilebih-lebihkan, dijalankan secara mekanis dan birokratis. Namun sayangnya, justru hal inilah yang terjadi: ‘Central Committee, bahkan Komite Eksekutif telah menjadi partai itu sendiri, dan bukannya merepresentasikan dan memimpin partai’. Menurut Gramsci, adalah perlu untuk berjuang melawan konsepsi semacam itu dengan segenap daya karena penerapan secara permanen prinsip tersebut akan menyebabkan partai kehilangan ‘ciri-ciri politiknya yang khas’ dan akan berjalan seperti halnya tentara, persis seperti yang berlangsung dengan partai-partai borjuis. Perubahan semacam itu akan berarti hilangnya secara nyata daya tarik partai dan partai ‘akan menjadi terpisah dari massa’. Bagi partai, keterpisahan dari massa sama artinya dengan bunuh diri.
Bagaimana kita bisa menghindari ini semua? Agar tidak kehilangan kontak dengan massa, ‘adalah perlu bahwa setiap anggota partai menjadi sebuah elemen politik yang aktif, menjadi seorang pemimpin.’ Tentu saja, aktivitas partai tak akan bisa bernilai kecuali jika tersentralisir secara kuat, namun massa masih tetap harus bisa mengontrol, mempengaruhi kebijakan politik partai secara umum dan mempengaruhi arah perjuangan partai. ‘Justru agar partai itu tersentralisir secara kuat, sebuah upaya propaganda dan agitasi yang massif dalam anggota partai dibutuhkan. Adalah perlu bagi partai untuk mendidik para anggotanya dan mengangkat level ideologis mereka secara terorganisir.’ Penggunaan kata sentralisasi oleh Gramsci mungkin bisa menyebabkan kebingungan. Kata itu tampaknya bertentangan dengan sedemikian banyak tema lain yang dikembangkan oleh Gramsci dalam karyanya. Namun, Gramsci sendiri menjelaskan bahwa kata itu hanya memiliki satu arti: yaitu, pada momen apapun, dalam situasi apapun, bahkan dalam situasi yang paling tanpa harapan dan kacau balau, jika organisasi politik tersentralisir secara tepat, maka apa yang berlangsung ialah berikut: ‘Setiap anggota partai, dalam milieu-nya masing-masing, akan sanggup mengarahkan dirinya sendiri, mengetahui bagaimana menyaring dari realitas elemen-elemen yang dibutuhkannya untuk membangun sebuah kebijakan, sehingga kelas buruh tak akan kehilangan keberaniannya, namun tetap merasa bahwa mereka punya pemimpin dan masih sanggup berjuang.’ Jadi, kesimpulannya adalah bahwa ‘pematangan ideologi massa karenanya merupakan salah satu kondisi wajib untuk meraih kemenangan’.
Apakah partai juga memiliki tugas fundamental untuk menemukan semua sekutu alami yang mungkin di antara partai-partai demokratis dan sosialis lainnya demi persatuan gerakan kelas buruh dan bagi perealisasian tujuan-tujuan politiknya sendiri? Menurut Gramsci, sebuah jawaban tunggal barangkali tak mungkin diajukan karena perbedaan situasi historis dimana aksi politik dijalankan akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda setiap saat dan akan menyediakan jawaban-jawaban yang berbeda, jika bukannya saling bertentangan. Aliansi-aliansi tentu saja tak boleh dilakukan dengan kaum demokrat, perkumpulan kebatinan atau dengan kaum republikan. ‘Tak sulit untuk mengajukan sebuah kritik terhadap perkumpulan-perkumpulan politik tersebut,’ demkian Gramsci mencatat pada bulan Juni 1916 dalam kolomnya, Sotto La Mole. ‘Apa yang harus dilakukan seseorang ialah menunjukkan bahwa isi ekonomi dan politik dari perkumpulan-perkumpulan tersebut pada dasarnya berwatak borjuis, sehingga partai kita seiring dengan waktu tak boleh mempertahankan kontak lebih jauh dengan mereka. Dengan kaum sindikalis dan anarkhis, perbedaannya dengan kita menjadi lebih sulit dan halus lagi. Orang tak bisa mengingkari bahwa mereka terlahir dan mendapatkan energi kehidupannya dari tanah subur perjuangan kelas, dengan kata lain, mereka adalah emanasi dari kaum proletariat. Namun, apakah semua ini cukup untuk mengajukan usulan sebuah fusi dengan mereka? Dan tidakkah hal tersebut malah akan melahirkan kebingungan?’ Pembedaan teoretis selalu penting dan tak pernah boleh dikaburkan atau diabaikan. Ini bukan tentang perkara bentuk atau prinsip, namun perkara subtansi politik. Hanya dalam momen-momen yang luar biasa sajalah fusi antara partai-partai dan gerakan-gerakan politik yang berbeda-beda bisa berlangsung secara alamiah: ‘Sebuah fusi yang semacam ini berlangsung secara alamiah dalam momen aksi dimana terdapat sebuah tujuan langsung yang ingin dicapai, atau sebuah musuh bersama yang harus dikalahkan.’
Untuk memahami ide-ide Gramsci dalam bidang ini, perlu bagi kita untuk memperhatiakn secara dekat periode dimana ide-ide tersebut dirumuskan. Seringkali ‘momen’ tersebut sepenuhnya dikondisikan oleh ‘teori’ Gramscian. Sebuah pembacaan yang seksama terhadap artikel-artikel yang diterbitkan dalam harian Ordine Nuovo pada tahun 1921 dan 1922, yang merupakan dua tahun buruk bagi kelas buruh dan merupakan saat dimana selama dua tahun itu berlangsung upaya yang nyaris tak memberikan harapan untuk mencapai sebuah persatuan yang malah kemudian menjadi kompromi yang tak bisa diperbaiki kembali, memperlihatkan kepada kita adanya gerak bolak-balik antara hasrat untuk ‘bersatu’ dengan garis pemikiran yang sektarian dalam pemikiran Gramsci dan secara implisit, juga dalam pemikiran para pemimpin komunis lainnya. Sebagai misal, dalam sebuah artikel yang diterbitkan pada tanggal 2 Oktober 1921, kita bisa baca: ‘Kami kaum komunis menginginkan harmoni dalam medan serikat buruh. Kami menginginkan harmoni dan kesepahaman bukan hanya di antara kaum komunis dan sosialis dalam tubuh Konfederasi Buruh, namun juga menginginkan harmonis dan kesepahaman di antara semua tendensi politik yang ada di seluruh kelas buruh Italia. Kami kaum komunis bertujuan untuk mencapai sebuah serikat buruh bersatu yang tunggal dan besar yang menyatukan segenap yang tereksploitasi, dan yang bisa menjadi landasan bagi sebuah perjuangan demokratis di kalangan beragam tendensi politik proletarian yang ada yang bisa menerima prinsip kekuasaan mayoritas dan prinsip taat secara sadar dan loyalitas terhadap minoritas pimpinan.’ Dalam artikel lain, yang diterbitkan beberapa minggu kemudian, yaitu 14 Januari 1922, Gramsci menulis secara tegas: ‘Mengenai persoalan front bersatu, kami menjawab dengan mengulang apa yang telah kami tulis dalam kesempatan-kesempatan yang lain.. Sebuah front bersatu berarti satu hal: yaitu mengelompoknya kembali massa buruh yang besar atas dasar sebuah program kongkret aksi langsung dalam medan serikat buruh. Karena itu, satu-satunya arena yang mungkin bagi perjuangan front bersatu saat ini ialah: perjuangan melawan birokrasi Konfederasi Buruh (CGL), perjuangan melawan sumber utama racun-racun yang telah meracuni tubuh kaum proletariat...Membicarakan sebuah front bersatu secara abstrak hanya akan merupakan manifestasi dari omong kosong’.
Dua kutipan di atas bernilai penting karena isinya yang saling kontras dan sifatnya yang antitesis. Namun, keduanya bernilai lebih penting lagi karena keduanya hanya membicarakan tentang aliansi-aliansi taktis, yang sifat temporernya tampak jelas. Inilah yang seringkali digarisbawahi oleh Gramsci sendiri: ‘Dan sementara menunggu, kita melanjutkan perjuangan kita yang merupakan jaminan nyata satu-satunya bagi kelas buruh untuk mencapai tujuan-tujuannya, dan yang menjadikan persatuan dari serikat buruh hanya merupakan sebuah sarana, hanya merupakan sebuah momen transisi’. Fragmen-fragmen tulisan dari artikel-artikel Gramsci ini tak boleh dilepaskan dari konteks polemik politiknya yang (dan memang tak bisa dielakkan) berlangsung sangat kasar dalam kekuatan ide-idenya dan dalam bahasanya yang penuh celaan dan kasar. ‘Adalah perlu untuk menjelaskan kepada massa buruh dan petani di Italia bahwa setiap dukungan yang diberikan kepada mereka oleh para demagog dari partai-partai sosial-demokrat –yaitu partai sosialis dan partai populer- malah turut berperanan bagi terbangunnya kembali organisme yang selama berdekade-dekade merampas kebebasan dan kemakmuran mereka, dan yang menjerembabkan mereka ke dalam jurang perbudakan, penderitaan dan kematian. Perjuangan melawan sosial-demokrasi, perjuangan melawan Partai Sosialis yang berwatak pengkhianat identik dengan perjuangan bagi pembebasan kaum proletariat dari semua perbudakan.’
Gramsci sadar betul akan kekuatan-kekuatan ideologis yang biasanya dikembangkan demi kepentingan kaum borjuis. Dia tahu betul kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh pemimpin komunis atau sosialis untuk menembus cangkang pandangan-pandangan klise yang selalu bisa disebarluaskan oleh kelas menengah dalam bentuk hegemonik di sekolah-sekolah, dalam kebudayaan, dan dalam pemikiran dari Negara. Kaum borjuis telah membuat rakyat percaya bahwa ide-ide kaum borjuis mengandung nilai yang absolut dan tidak ada kaitannya dengan gerak sejarah dan kelas untuk melindungi hak-hak istimewanya dan kekuasaannya sendiri. ‘Adalah perlu untuk mendidik kaum proletariat’ menjadi refrain (bagian ulangan) dari tulisan-tulisan awal Gramsci. Namun, ini saja belum cukup. Agar kelas buruh menjadi betul-betul siap bagi perebutan kekuasaan, adalah perlu bagi ‘sirene-sirene kematian’ untuk disumbat sehingga tak lagi bisa bersuara dan menimbulkan bahaya. ‘Sebelum kaum proletariat bisa meliputi seluruh rakyat, dan menjadi imun dari segala racun, kaum proletariat harus paling tidak melemparkan jaring-jaring kontrolnya atas masyarakat borjuis agar bisa membatasi gerak masyarakat borjuis.’ Di sisi lain, perebutan kekuasaan bisa terjadi dalam berbagai cara yang tak terbatas dan tak terduga. Gramsci telah menyatakan hal ini dengan sepenuh tenaga dalam pernyataannya yang paradoks ketika dia menyebut revolusi Bolsyewik sebagai sebuah revolusi yang dijalankan melawan Marx dan melawan teori-teori Marx. Perebutan kekuasaan bisa terjadi dalam cara-cara yang ‘filolog Marxis’ sendiri tak akan sanggup bahkan untuk memahami dan menjalankannya sendiri, apalagi meramalkan. Karena ‘sejarah kongkret tidak menerima hipotesis-hipotesis mengenai gerak perkembangan kejadian-kejadian selain sebagai indikasi-indikasi yang bisa berguna sebagai sebuah panduan tentatif bagi aksi praktis, dan kaum revolusioner mengamati sejarah yang kongkret ini, bukan sebagai permainan logika partai, maka mereka mendasarkan diri pada dialektika dari kekuatan-kekuatan ekonomi yang kongkret, bukan pada harapan-harapan abstrak dan rasa takut ala para kacung’. Adalah perlu, kata Gramsci, untuk menggoncangkan skema-skema yang telah terbentuk sebelumnya dan beradaptasi dengan variabilitas dan kompleksitas realitas yang ada.
Pemilu merepresentasikan sebuah momen penting, sebuah ujian penting bagi kelas buruh, yang karena masih belum memegang kekuasaan, dipaksa untuk mengembangkan dan berjuang dalam sebuah Negara borjuis. Dalam artikel-artikel Gramsci, ada banyak hasil pengamatan yang tajam mengenai hal ini, baik dalam artikel pada bulan November 1919 (pada saat pemilu di bawah pemerintahan Nitti yang menerapkan sistem representasi proporsional untuk pertama kalinya) dan pada musim semi tahun 1921 (pemilu dilaksanakan oleh pemerintahan Giolitti setelah dibubarkannya Pemerintahannya yang lama). Pada tahun 1919, Gramsci masih menjadi anggota Partai Sosialis dan menerbitkan tulisan-tulisannya dalam Avanti! serta dalam L’Ordine Nuovo. Seluruh revolusioner proletarian, katanya, tahu betul dengan baik bahwa tujuan perjuangan politik mereka ialah untuk mendirikan sebuah kediktatoran proletariat. Namun, revolusi tak akan ‘bisa dicapai dengan sebuah serangan kejutan’. Kaum reformis dan oportunis benar, bahkan mereka yang menjadi anggota partai, ketika mereka mengatakan bahwa kondisi-kondisi politik di Italia tidak cocok bagi revolusi. Namun, penilaian tersebut akan berubah secara diametris jika orang melangkah dari level Italia ke level internasional. Dengan begitu, orang pastilah akan berkesimpulan bahwa kaum proletariat harus dipersenjatai dan dimatangkan karena momen revolusioner sudah dekat. Memang situasi di Italia, jika dianalisa secara obyektif, sungguh berbeda. Maka, menjadi tugas kaum proletariat Italia untuk berpartisipasi dalam pemilu, ‘bukan karena ilusi demokratis, bukan karena melunaknya kaum reformis’, namun hanya untuk bisa menciptakan kondisi-kondisi yang secara obyektif lebih baik bagi terciptanya kemenangan kelas buruh. Merupakan suatu kebodohan jika kita mengabaikan makna penting yang dimiliki Parlemen dalam kehidupan Negara. Dominasi yang selalu dimiliki oleh kelas menengah dalam Parlemen-lah yang memungkinkan kaum borjuis berhasil mentransformasi ideal-ideal kelas mereka menjadi ideal-ideal yang bernilai absolut bagi seluruh bangsa. ‘Dengan mengirimkan sejumlah besar militan sosialis ke Parlemen akan bisa diakhiri persaingan di antara para politisi ini... Adalah perlu untuk berjuang secara tak kenal lelah mengirimkan sebanyak mungkin militan Partai Sosialis ke Parlemen.’
Gramsci (yang pada saat itu merupakan seorang militan Partai Komunis) mengekspresikan ide-ide yang sama pada musim semi tahun 1921. Pada tanggal 1 April, Central Committee partai mengumumkan bahwa partai akan turut serta dalam pemilu yang akan datang dan mengajukan daftar calon nama dari partai, meski hal ini ditentang keras oleh Bordiga dan seluruh penganut paham abstaintionisme. Pada tanggal 12 April, Gramsci menerbitkan sebuah artikel dengan judul I communisti e le elezioni dalam L’Ordine Nuovo. Pembahasannya yang komprehensif itu diawali dengan sebuah definisi-definisi historis dari kondisi-kondisi yang memungkinkan lahirnya Partai Komunis, dan bagaimana Partai itu merepresentasikan kelas buruh revolusioner yang juga ‘lahir dan terorganisir dalam batas-batas demokrasi borjuis.’ Partai Komunis harus bekerja sedemikian rupa sehingga kelas buruh bisa memutuskan ikatan-ikatan yang menyatukan kelas buruh dengan kelas-kelas lainnya dan dengan begitu tak akan lagi mengusulkan, seperti di masa lalu, untuk berkolaborasi demi ‘perkembangan atau transformasi Negara parlementer birokratis’. Kelas buruh ingin memerintah negeri dan untuk itu, kelas buruh harus mengandalkan diri pada kekuatan-kekuatan riil, kelas buruh harus bisa tahu ‘berapa banyak buruh di Italia yang telah memiliki sebuah kesadaran yang kokoh akan misi historis kelas mereka’. Pertanyaan-pertanyaan ini hanya bisa dijawab dalam pemilu, yang telah diputuskan akan diikuti oleh Partai Komunis, meski partai sadar bahwa ‘bagi kaum komunis, pemilu hanyalah satu dari sekian banyak bentuk organisasi politik dari masyarakat modern. Partai sendiri merupakan bentuk organisasi yang superior.’
Dan begitu kekuasaan telah berhasil direbut, Negara Buruh harus didirikan. Apakah Negara Buruh itu? Menurut sebuah definisi yang diambil Gramsci dari Lenin, ‘Negara Buruh ialah Negara borjuis tanpa kaum borjuis’. Negara Buruh adalah sebuah Negara yang, seperti halnya setiap negara borjuis, harus sanggup menyelesaikan problem-problem internal dan eksternalnya, yang pada akhirnya mengadopsi sistem-sistem dan metode-metode yang tak berbeda secara substansial dengan sistem-sistem dan metode-metode Negara borjuis. ‘Sebuah Negara tak akan bisa disusun tanpa sebuah angkatan bersenjata’ atau juga angkatan bersenjata yang pemberani dan kompak tak akan bisa disusun jika tidak ‘sebagai sebuah fungsi yang dibentuk oleh Negara dengan didukung oleh kehendak abadi dan oleh semangat kedisiplinan dan pengorbanan abadi dari seluruh rakyatnya’. Kedisiplinan mengandaikan sebuah hirarki dan kadangkala hirarki tersebut merupakan sebuah minoritas asalkan minoritas tersebut memiliki sebuah kesadaran yang lebih besar akan tugas historisnya dan lebih siap menjalankan tugas itu, dan terbukti menjadi satu-satunya yang sanggup membentuk Negara. Minoritas itu harus sanggup meyakinkan mayoritas seluruh rakyat ‘yang terdiri atas strata kelas menengah yang cair, kelas intelektual, kelas petani’ sehingga kepentingan minoritas adalah sama dengan kepentingan mayoritas. Namun, untuk bisa mencapai tujuan fundamental ini, dibutuhkan kedisiplinan dan hirarki: ‘Hirarki? Ya, hirarki. Kekuasaan buruh adalah fondasi dari hirarki kelas sosial yang baru; para intelektual, kaum petani, semua kelas menengah akan mengakui kelas buruh sebagai sumber kekuasaan Negara, mengakui kelas buruh sebagai kelas yang berkuasa. Saat pemilu untuk memilih anggota-anggota institusi-institusi perwakilan, mereka akan memilih para wakil dari partai kelas buruh, yaitu Partai Komunis.’

Read more...

KONSEP KELAS DAN PERJUANGAN KELAS

‘Dalam perjuangan kelas, satu-satunya problem “moral” ialah kemenangan kelas.’
(Gramsci dalam L’Ordine Nuovo, 7 Agustus 1921)

Dalam tulisan-tulisan Gramsci, tak ada definisi yang tegas dan jelas mengenai konsep kelas yang bisa dikritik oleh para sosiolog. Namun, konsep kelas ini merupakan konsep yang bersifat mendasar dalam seluruh karyanya, dan melandasi segenap pertimbangan taktis atau strategis dalam pemikiran Gramsci. Dalam seluruh karyanya, konsep kelas ini diterapkan dalam realitas perjuangan antar-kelas. Sebuah contoh mengenai hal ini ialah sebuah nukilan dari sebuah artikel dalam Il Grido del Popolo yang diterbitkan pada musim panas tahun 1918, ‘Sosialisme ada dalam kenyataan bukan karena Turati atau yang lainnya menginginkannya, namun karena ada kaum proletariat yang mencita-citakan pembentukan kediktatoran proletariat.’ Kalimat ini sudah dengan sendirinya membentangkan dengan cukup jelas nilai otonom dari konsep kelas tersebut yang bersifat mentransendensi individu-individu. Nada yang sama juga bisa dilihat dalam nukilan yang diambil dari artikel La rivoluzione contro il ‘Capitale’. ‘Jika kaum Bolsyewik menyangkal beberapa pernyataan yang ada dalam buku Capital, itu tidak berarti mereka menyangkal bahwa pernyataan-pernyataan itu adalah sesuatu yang imanen dalam kenyataan. Namun, itu semata-mata karena mereka bukan “Marxis”. Mereka tidak sedang membangun sebuah doktrin superfisial yang tak terbantahkan dan penjelasan-penjelasan dogmatis atas karya-karya Sang Guru Besar. Mereka justru menghidupkan pemikiran Marxis, yang memang tak akan pernah mati, yang merupakan kelanjutan dari pemikiran idealistik Jerman dan Italia, dan yang telah berbaur dengan warna naturalistik dan positivis dari pemikiran Marx. Pemikiran Marxis tak akan pernah menganggap fakta-fakta ekonomi mentah sebagai faktor yang menentukan dalam sejarah, namun alih-alih manusia dan masyarakat manusia-lah, manusia-manusia yang saling berdampingan satu sama lain, yang lewat kontak-kontak ini membangun sebuah peradaban dan sebuah kehendak kolektif dan sosial, manusia-manusia inilah faktor penentu dalam sejarah. Manusia-manusia inilah yang memahami fakta-fakta ekonomi, dan menilainya serta mengarahkannya sesuai kehendak mereka, sehingga kehendak itu pun menjadi kekuatan motor penggerak ekonomi, penempa realitas obyektif yang sanggup menghidupkan, menggerakkan dan menguasai kodrat dari materi yang bisa diubah ke arah dan dengan cara sebagaimana seperti yang dikehendaki oleh kehendak manusia-manusia itu.’ Aspek voluntaristik (atau idealistik atau Bergsonian) dari nukilan pemikiran Gramsci ini tampak nyata sekali, namun adalah kesalahan fatal jika menilai nukilan itu di luar konteks historis dimana pernyataan itu muncul, sebagaimana adalah juga keliru fatal jika terlalu melebih-lebihkan arti pentingnya.
Biasanya, lewat perjuangan kelas-lah sejarah tercipta. Namun, dalam periode-periode pengecualian tertentu, relasi-relasi di antara dua kelas dalam dunia kapitalis itu berubah dan menjadi berbeda bentuk. Irama gerak perkembangan berdenyut dengan cepat. Kehendak yang terpencar-pencar akan bangkit dan bersatu, pada mulanya secara mekanis, dan kemudian ‘secara aktif dan spiritual.’ Di sisi lain, perjuangan kelas bukanlah sebuah tindakan yang semau-maunya sendiri, bukan sebuah aksi dari kehendak. ‘Perjuangan kelas adalah sebuah keniscayaan yang inheren dari rezim.’ Orang tak bisa menentang atau mengganggu gerak perkembangan alami dari perjuangan kelas dengan tindakan pengalihan perhatian yang kekanak-kanakan, dan sekaligus orang juga tak bisa mempengaruhi gerak perkembangan tersebut. ‘Cabutlah kesadaran kelas dari kaum proletariat: dan jadilah dia boneka, gerakan macam apa itu!’

Bagi seorang sosialis, apakah yang direpresentasikan oleh Negara itu selain organisasi ekonomi-politik dari kaum borjuis? Negara berpretensi hendak memecahkan ‘konflik-konflik kelas dan friksi antar kepentingan-kepentingan dalam negeri yang secara hukum saling bertentangan’, padahal kelas menengah tidak berada di luar Negara. Pemerintahan Negara dikuasai oleh kelas menengah ‘yang berhak’ menguasainya karena kekuatan-kekuatan yang dimilikinya. Namun, lewat perjuangan kelas, atau perjuangan di tingkat internasional antara satu negara dengan negara lain, setiap manusia pun belajar dan menjadi terdidik. Jadi, konsep kelas bersifat dinamis. Individu-individu yang terus-menerus terlibat dalam perjuangan kelas bisa jadi ‘belum matang’; karena itu, mereka harus dididik mengenai hakekat perjuangan. Dan bahasa yang dipergunakan untuk kepentingan perjuangan tak bisa atau tak boleh selalu bersifat elementer karena kaum sosialis tak selalu harus memulai lagi dari awal. ‘Kaum proletariat merupakan sebuah konstruk praktis. Dalam realitas, ada individu-individu pekerja yang lebih atau kurang terdidik, lebih atau kurang matang untuk melakukan perjuangan kelas karena tingkat pemahamannya yang berbeda-beda terhadap konsep-konsep sosialis yang utama. Jadi, mingguan-mingguan sosialis memang harus beradaptasi diri dengan tingkat rata-rata kelompok pembaca mereka di level lokal. Namun, nada tulisan dan propaganda mereka harus selalu lebih tinggi ketimbang rata-rata itu, sehingga dengan begitu paling tidak sejumlah kaum buruh tak akan tertarik lagi dengan simplifikasi-simplifikasi yang kabur dan hampa dari pamflet-pamflet murahan. Pemahaman kaum buruh bisa terangkat ke visi sejarah yang lebih tinggi dan kaum buruh bisa paham visi dunia yang akan mereka wujudkan dan perjuangkan.’
Sebuah upaya pematangan intelektual, sebuah kesadaran kultural yang tidak lagi tercetak oleh ‘pamflet-pamflet murahan’ menjadi lebih penting lagi saat musuh-musuh kelas menggunakan segenap instrumen propaganda untuk menyebarluaskan berita-berita yang bertujuan untuk menyembunyikan atau mendistorsi kebenaran. ‘Kebenaran harus selalu dihormati apapun konsekuensinya,’ Gramsci menegaskan hal ini dalam sebuah catatan penting dalam Sotto la Mole pada bulan Februari 1916, ‘dan pendirian-pendirian seseorang, jika itu merupakan sebuah keyakinan yang hidup, haruslah tumbuh dalam dirinya sendiri, dalam logikanya sendiri, dan menjadi landasan bagi tindakan-tindakan yang menurut pertimbangannya harus dilakukan.’ Namun, adalah perlu untuk melindungi diri dari sebuah ‘demokrasi yang simplistik dan penuh gosip’ yang akan bisa menjinakkan perjuangan kelas lewat jalan penyebarluasan nilai-nilai ideal yang bersifat klise atau demagogis. ‘Atas dasar sedemikian banyak alasan inilah, demokrasi merupakan musuh terburuk kita. Kita harus siap melawannya karena demokrasi mengaburkan pemisahan kelas yang tegas. Demokrasi itu hampir mirip seperti fungsi yang dimainkan oleh suspensi pada sebuah kereta kuda. Dia berfungsi untuk mengurangi tekanan beban penumpang terhadap roda-roda dan untuk mencegah tercapainya tingkat goncangan tertentu yang akan bisa menjadikan terbaliknya kereta kuda.’
Gramsci sadar betul akan problem mendasar dari perjuangan kelas, yaitu upaya tiada henti dari kelas menengah untuk menjadikan dirinya sebagai bangsawan di kalangan buruh dan menjadikan hal tersebut sebagai tujuan hidupnya agar mereka bisa menumpulkan kekuatan-kekuatan revolusioner untuk selama-lamanya atau untuk jangka waktu yang lama. ‘Ini tidak berarti bahwa kemenangan-kemenangan secara demokratis tidak diinginkan, namun hal tersebut hanyalah sekedar sarana dan sebuah jalan menuju perkembangan yang lebih cepat, dan bukan sebagai tujuan akhir dari sejarah. Ringkasnya, kemenangan-kemenangan tersebut haruslah menjadi instrumen-instrumen dari perjuangan kelas dan bukan menjadi dalih untuk memperlunak diri dan untuk menjadi akrab dengan siapa saja.’ Dengan kata lain, perjuangan kelas merupakan sebuah perjuangan yang bersifat revolusioner dan tak boleh dirukunkan dengan upaya-upaya reformasi yang berwatak ‘demokratis’ kecuali untuk sementara waktu saja. Perjuangan kelas, kata Gramsci, harus berwatak revolusioner bukan hanya di Italia, namun juga di semua negara Eropa dan dunia. ‘Konsepsi perjuangan kelas yang menjadi karakter dari Internasional Ketiga, yang menyerukan agar perjuangan kelas tersebut harus diarahkan kepada pembentukan kediktatoran kaum proletariat, haruslah melampaui ideologi demokratis dan harus tersebar luas secara nyata di kalangan massa.’ Perjuangan kelas memiliki sebuah tujuan tunggal, yaitu untuk membentuk sebuah tatanan relasi produksi dan distribusi yang baru dalam medan ekonomi, ‘di atas landasan yang tak memungkinkan masyarakat terbelah menjadi kelas-kelas.’ Perjuangan kelas bahkan berjuang menuju penghapusan lebih jauh lagi atas kekuasaan Negara dan berjuang demi ‘penghapusan secara sistematis organisasi politik yang berwatak defensif dari kelas proletarian, yang tak akan lagi menjadi sebuah kelas, namun menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusiawi.’
Sebuah kelas merupakan sebuah kesatuan individu yang tak lagi hidup dalam individualitasnya, namun dalam sebuah kesadaran kelas di bawah tekanan kejadian-kejadian besar dan bersifat eksternal. Bagi Gramsci, kelas buruh sangat berbeda dengan ‘plebe di Spanyol, yang bersifat individualistik dan sama seperti halnya semua kumpulan individu lainnya, tak pernah mengalami pengalaman menderita bersama karena dieksploitasi secara intensif oleh industrialisme.’ Sesuai dengan kondisi-kondisi politik yang menjadi konteksnya, perjuangan kelas itu bisa jadi berlangsung secara sederhana, atau kompleks, atau bahkan tak bisa ditebak. Aliansi-aliansi paling ganjil akan dilakukan oleh kelas menengah untuk mempertahankan supremasi Negara yang selalu mereka percayai sebagai hak milik mereka. ‘Sebagaimana di Rusia dan Jerman, demikian pula di Italia, perjuangan kelas diidentikkan dengan sebuah perjuangan dimana di dalamnya polisi borjuis dan para pembunuh bayaran yang berpihak kepada kapitalis, bersama dengan kaum sosial-demokrat berupaya untuk menjinakkan serikat buruh dan organisasi-organisasi politik kelas buruh.’ Namun, lanjut Gramsci, sejak momen revolusi Bolsyewik berhasil menang di Rusia, relasi-relasi kekuatan antara satu Negara dengan negara lain, juga sangat mengubah relasi internal dari kekuatan-kekuatan antara satu kelas dengan kelas yang lain, dan membuka cakrawala baru bagi perjuangan kaum proletariat. ‘Mungkin saja bahwa perjuangan kelas akan diakhiri di beberapa negara dengan tindakan intervensi dari kekuatan baru dalam medan persaingan sejarah, yaitu Rusia, yang dengan jalan memikat para buruh yang paling cakap, akan menentukan tahap terakhir dari keruntuhan kaum kapitalis dengan jalan menciptakan kondisi-kondisi inferioritas teknis yang tak bisa diperbaiki dalam dunia industri di Barat.’
Perjuangan kelas juga memunculkan sejumlah problem ke hadapan kelas buruh. Kaum buruh saat ini, kata Gramsci, memiliki ‘sebuah konsepsi dunia yang didasarkan pada perkembangan historis dari perjuangan kelas. Namun perjuangan ini haruslah berakhir dengan perwujudan sebuah masyarakat yang tak lagi terbelah, dimana di dalamnya kelas buruh akan lenyap dan menjadi manusia yang sungguh-sungguh manusiawi; dan kaum buruh sadar betul akan tujuan ini... Namun, jika kelas-kelas telah dihapuskan, dan perjuangan kelas telah usai, apakah perkembangan sejarah tak ada lagi, apakah mesin kemajuan akan berhenti? Jawabnya sangat sulit, dan inilah problem yang tampaknya mencemaskan banyak buruh dan menjadi ‘problem metafisis’ buat mereka. Lebih dari itu, orang bisa berkata bahwa ‘problem-problem metafisis’ ini hanya akan menjadi problemnya kaum proletariat karena kaum borjuis tak bisa dan tak mungkin mengajukan problem semacam itu: Apa yang akan datang setelah terhapusnya kelas? Namun ada sebuah jawaban yang mungkin, bahkan dalam kondisi-kondisi perkembangan historis dan sosial saat ini. Begitu perjuangan kelas telah dihapuskan, akan masih ada ‘perjuangan melawan kekuatan-kekuatan buta dari alam’, yang akan berkembang dalam skala yang belum pernah ada sebelumnya, dan yang akan sepenuhnya mengubah karakteristik alam dan manusia yang terlibat dalam perjuangan tersebut karena perjuangan ini bukan lagi sebuah perjuangan ‘dari makhluk hidup yang satu melawan makhluk hidup yang lain.’
Perjuangan kelas akan tetap ada bahkan meski kaum borjuis dan para intelektualnya, yang merupakan ‘tentara-tentara bayaran’ kaum borjuis, menyangkal keberadaannya. Justru karena penyangkalan inilah, kaum borjuis dan para intelektualnya berada di luar sejarah dan tak sanggup memahami esensi atau hakekat unik dari proses historis. ‘Karena itu, mereka dikutuk tak sanggup memahami gerak perkembangan sejarah dunia dan gerak perkembangan sejarah nasional yang terlingkupi oleh sistem dunia dan tunduk pada tekanan-tekanan kejadian internasional.’ Mengapa kaum borjuis dan para tentara bayarannya menyangkal perjuangan kelas, menyangkal eksistensi dari perjuangan antar kelas? Sayangnya, sangkalan tersebut didasarkan pada sejarah masa lalu tampaknya membenarkan penyangkalan ini dengan sejumlah peristiwa, pada adanya rasa takut, rasa ngeri, kebodohan dan ketidakterorganisiran dalam diri kelas buruh. Ada momen-momen ketika kelas buruh mengalami disorientasi sehingga sepanjang momen itu, ‘kaum proletariat tak sanggup memanifestasikan diri dalam bentuk apapun selain dari menjadi borjuis rendahan baru yang tak jelas posisinya dan tak memiliki sebuah tujuan historis yang nyata.’
Perjuangan kelas yang harusnya meletakkan fondasi bagi sebuah negara proletarian, ‘terpencar-pencar dalam berbagai aksi yang terfragmentasi dan tindakan-tindakan merusak’, sehingga menjadikan kaum borjuis rendahan yang terpencar-pencar dan berserakan bisa memulihkan diri dan mengorganisir diri kembali. Dan sekarang, kaum borjuis ‘yang telah melihat bahwa perjuangan kelas tak sanggup berkembang dan muncul, sekali lagi menyangkal keberadaannya, sekali lagi menyebarluaskan pandangan bahwa perjuangan kelas tak lebih dari kejahatan, barbarisme dan ketamakan yang menumpahkan banyak darah.’ Bukan hanya itu, penghakiman yang sederhana oleh kaum borjuis ini dibarengi dengan sebuah reaksi, yaitu pertahanan bersenjata kaum borjuis. Ini aneh karena justru ketika mereka menyangkal eksistensi dari perjuangan kelas, mereka malah menantang munculnya perjuangan kelas sebagai sebuah jawaban atas problem-problem yang belum lagi dimulai oleh kaum proletariat. ‘Reaksi ini, sebagai sebuah psikologi yang kacau, merupakan buah dari ketiadaan pemahaman. Elemen-elemen dari psikologi ini ialah rasa takut yang sangat dan kebejatan moral yang paling dasariah.’ Kaum borjuis membuat kaum proletariat harus membayar mahal atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan kaum proletariat itu sendiri, kelemahan yang ditunjukkanya karena rasa takut, tak tegas, dan kepengecutannya entah besar atau kecil. Smentara, kaum borjuis sendiri tak pernah terbelah, tak pernah menunjukkan rasa takut dalam menyerang, dalam bereaksi terhadap serangan-serangan yang dilancarkan terhadap dirinya. Kaum proletariat sebenarnya juga bisa belajar untuk menggunakan persenjataan yang sama, untuk menjadi tegas dan bersatu. ‘Ya, slogan kita terhadap manusia-manusia ini, terhadap sistem-sistem ini, terhadap kepengecutan moral ini, terhadap banjir kebebalan dan sikap kompromi yang memuakkan ini, terhadap pertunjukan kebodohan yang sangat mandul ini, terhadap elemen-elemen keruntuhan dan kehancuran ini, ya, slogan kita ialah: “hancurkan”.’
Revolusi atau reaksi, tak ada jalan untuk lari dari dilema historis yang tragis ini. Kaum borjuis, menurut Gramsci, memiliki kekuatan yang memadai untuk memberikan sebuah solusi terhadap kelas buruh. Kelas buruh sendiri tak tahu bagaimana merebut kekuasaan dan menggulingkan musuh-musuhnya, maupun untuk terus tabah menghadapi konsekuensi-konsekuensi tragis dari ketidaktegasannya, dari kelemahannya. ‘Fase perjuangan kelas yang sekarang di Italia,’ tulis Gramsci dalam semangat profetik dalam L’Ordine Nuovo pada tanggal 8 Mei 1920, ‘merupakan fase awal: baik bagi tindakan pengambilalihan kekuasaan politik di pihak kaum proletariat revolusioner dalam rangka untuk menciptakan perubahan dalam cara-cara berproduksi dan distribusi yang baru yang akan memungkinkan dipulihkannya produktivitas; atau bagi tindakan reaksioner yang luar biasa di pihak kelas yang memiliki hak milik dan kasta yang berkuasa.’
Namun, kemudian perjuangan politik di Italia menjadi memburuk. Fasisme, yang didukung oleh para tuan tanah, oleh ‘kasta yang berkuasa,’ dan oleh kekuatan-kekuatan penjaga ketertiban, menyebar luas, dan dari Po Valley, sedikit demi sedikit, fasisme menaklukkan seluruh Italia. Tahun 1921 merupakan sebuah tahun yang krusial. Sementara, setelah keberhasilan pendudukan pabrik-pabrik pada bulan September tahun sebelumnya, kaum proletariat menjadi tak tahu bagaimana harus bereaksi, bagaimana mengorganisir diri, dan bagaimana menjawab kekerasan tersebut. Serikat buruh dan para pemimpin politik dari kelas buruh telah memutuskan untuk menyerah dan tidak melanjutkan perjuangan. Inilah yang menyebabkan perpecahan di tubuh Partai Sosialis Italia di Leghorn pada bulan Januari 1921, dan yang menjadikan pembentukan Partai Komunis Italia menjadi perlu. Setelah perpecahan itu, para pemimpin politik dan serikat buruh sosialis sekali lagi merasa cenderung bergeser ke kanan, untuk ‘membela diri mereka’ dari musuh-musuhnya di kiri, untuk menyerang bekas kamerad-kameradnya di masa lalu dalam kolom-kolom koran-koran mereka. ‘Baldesi1 memandang semua ini sebagai “problem-problem moral.” Fasisme bagi Stenterello merupakan sebuah problem moral. G.M. Serrati2 mungkin harus memberinya pamflet yang agak murahan berisi propaganda dasar, sehingga Stenterello bisa belajar bahwa dalam perjuangan kelas, satu-satunya problem “moral” ialah kemenangan kelas.’
Fasisme kemudian naik ke tahta kekuasaan, dan setelah beberapa bulan, fasisme menghapuskan sekecil apapun kehidupan konstitusional dan membangun sebuah kediktatoran. Perjuangan politik pada tahun 1921 dan pada tahun 1922 telah memaksa Gramsci dan kaum komunis untuk mendebat secara keras Partai Sosialis, namun waktu telah berubah. Pilihan-pilihan baru, aliansi-aliansi baru merupakan keniscayaan. Salah satu garis yang harus diperjuangkan (seperti yang dimuat dalam sebuah surat yang dikirimkan oleh Gramsci kepada Scoccimarro dan kepada Togliatti pada tahun 1924) ialah ‘perjuangan menentang aristokrasi buruh, yaitu kaum reformis.’
Analisis terhadap kelas dan perjuangan kelas dalam karya Prison Notebooks tidak terlalu terdefinisikan secara jelas, bahkan dalam pemilihan katanya, sebagaimana halnya dalam kasus pemilihan kata kelompok sosial sebagai ganti dari kata kelas. Namun, dan hal ini cukup tepat dan bisa dipahami, tulisan-tulisan dalam Notebooks lebih luas dan lebih ‘umum’, dan karena itu bernilai penting sebagai bahan refleksi. Dalam Il Risorgimento, misalnya, kita menemukan beberapa konsep fundamental. ‘Supremasi dari sebuah kelompok sosial ditunjukkan dalam dua cara, yaitu dalam bentuk “dominasi” dan “kepemimpinan moral dan intelektual”. Sebuah kelompok sosial mendominasi musuh-musuhnya ketika dia cenderung “melenyapkan” atau menaklukkan musuh-musuhnya dengan berbagai cara termasuk dengan penggunaan kekuatan bersenjata, dan kelompok sosial itu menjadi pemimpin dari kelompok-kelompok yang bersekutu dan memiliki hubungan dengannya. Sebuah kelompok sosial bisa dan harus memimpin sebelum bisa merebut kekuasaan pemerintahan. (Bahkan, ini merupakan salah satu dari prasyarat esensial bagi pengambilalihan kekuasaan.) Setelah itu, saat kelompok sosial menjalankan kekuasaannya dan bahkan saat kelompok sosial itu menjalankan kekuasaannya secara ketat, kelompok itu harus mendominasi sekaligus tetap menjalankan kepemimpinannya. Itulah mengapa kaum moderat bisa terus memimpin Partizio d’Azione bahkan setelah tahun 1870.’
Karena itu, sebuah kelas harus menjalankan fungsi hegemonik bahkan sebelum pengambilalihan kekuasaan karena ‘adalah perlu untuk tidak hanya bergantung pada kekuatan material dari kekuasaan untuk bisa menjalankan sebuah kepemimpinan yang efektif’. Sementara kelas-kelas ‘yang berkuasa’ bersatu dalam Negara, kelas-kelas ‘yang tersubordinat’ tak akan menyatu dan tak akan bisa menyatu jika mereka tidak menguasai Negara dan mengambilalih kekuasaan. Sebelum pengambialihan itu berlangsung, mereka akan selalu tunduk pada prakarsa kelompok-kelompok dominan, bahkan dalam momen-momen pemberontakan, revolusi, perlawanan. ‘Hanya sebuah kemenangan “yang permanen” yang bisa menghancurkan subordinasi mereka, dan bahkan penghancuran itu pun tak bisa berlangsung dengan cepat.’
Gramsci juga membahas secara mendalam problem hegemoni dalam Passato a presente. Kelas-kelas yang tersubordinat, kata Gramsci, harus memiliki kesadaran akan eksistensi mereka dan akan kekuatan mereka sendiri. Namun, mereka akan berhasil memiliki kesadaran tersebut sejauh mereka sanggup mengamati dan mengevaluasi eksistensi dan kekuatan kelas yang mendominasi. ‘Kelas yang lebih rendah, yang secara historis bersifat defensif, hanya bisa menjadi sadar akan dirinya melalui negasi-negasi, melalui kesadaran akan kepribadian dan batas-batas kelas dari musuh mereka. Namun proses ini masih baru pada tahap awal, paling tidak pada skala nasional.’ Konsep kelas selalu kurang lebih terkait dengan konsep Negara, sebagaimana juga konsep perjuangan antar kelas terkait dengan konsep pengambilalihan kekuasaan. ‘Konsep-konsep revolusi dan internasionalisme, dalam artian modern dari kata tersebut, berhubungan dengan konsepsi Negara dan kelas. Pemahaman yang tidak memadai terhadap konsep Negara akan berarti lahirnya kesadaran kelas yang tak memadai pula. Dan pemahaman terhadap apa itu Negara harus ada bukan hanya ketika seseorang membelanya, namun juga ketika seseorang menyerangnya dengan tujuan untuk menggulingkannya.’
Dan sekali lagi, dalam Note sul Machiavelli, kita menemukan sebuah analisis yang tajam dan dramatis terhadap perjuangan kelas seperti yang berlangsung di Italia selama tahun-tahun dimana fasisme berhasil merebut kekuasaan. Kelas buruh, menurut Gramsci, memiliki metode-metode perjuangannya sendiri dan tidak bisa meniru begitu saja metode-metode kelas menengah. Merupakan sebuah kekeliruan yang sangat fatal jika berpandangan bahwa adalah mungkin untuk menggunakan satu bentuk cara ilegal untuk berjuang melawan pihak musuh dan jika membayangkan secara keliru bahwa Negara akan berada di luar pertarungan antar-kelas dalam jangka waktu yang lama. Negara akan cenderung mengambil posisi dalam kerangka hukum yang ada selama mungkin, bahkan meski itu berarti dia melestarikan fungsi dominan dari kelas yang memegang kekuasaan. ‘Elemen lain harus mempertimbangkan hal ini: dalam perjuangan politik, adalah tidak mungkin untuk menirukan metode-metode perjuangan dari kelas-kelas yang dominan tanpa beresiko dengan mudah jatuh ke dalam sergapan musuh. Dalam gerak perjuangan kelas saat ini, fenomena ini sering terjadi. Organisasi Negara yang melemah tak ubahnya seperti tentara yang melemah. Arditi, yaitu organisasi-organisasi bersenjata partikelir, kemudian masuk ke arena dengan dua tugas: yaitu menggunakan cara-cara ilegal di saat Negara masih berada dalam batas-batas legalitas yang ada, dan untuk menggunakan cara-cara itu untuk mereorganisasi Negara. Adalah bodoh untuk mempercayai bahwa orang bisa menentang aktivitas ilegal dengan aktivitas yang serupa lainnya, yaitu melawan terorisme dengan terorisme. Hal ini sama artinya dengan percaya bahwa Negara akan terus-menerus bersifat diam saja dan bersifat netral. Hal itu tak akan pernah ada dalam kenyataan. Kodrat kelas itu sendirilah yang menimbulkan sebuah perbedaan fundamental: sebuah kelas yang harus bekerja secara reguler setiap hari tak akan bisa memiliki organisasi-organisasi penyerangan yang permanen dan terspesialisasi sebagaimana yang sanggup dilakukan oleh sebuah kelas yang memiliki aset-aset keuangan yang besar dan yang anggota-anggotanya tidak terikat dengan sebuah pekerjaan reguler.’3
Dalam karya Gramsci, terdapat sejumlah besar paragraf-paragraf yang membahas mengenai kelas dan perjuangan kelas. Banyak dari paragraf-paragraf itu yang hanya bisa sepenuhnya dipahami dalam relasinya dengan tema-tema dan problem-problem lain yang akan kita bahas kelak. Tema tentang kelas dan perjuangan kelas itu menarik perhatian Gramsci selama periode dimana terjadi kebingungan ideologis dan intrik-intrik politik yang berupaya untuk atau telah berhasil dalam mengarahkan kelas buruh ke jalur yang salah, untuk menjauh dari perjuangan yang bersifat revolusioner, untuk menjinakkan kekuatannya dan energi-energinya, untuk memecah dan menghancurkan kohesivitasnya, untuk menghancurkan kesadarannya sebagai sebuah kelas yang akan menjadi tuan di masa depan. Kesadaran kelas ini tak pernah lenyap dari Gramsci, entah dalam artikel-artikel awalnya, dalam surat-suratnya, dalam catatan-catatan penjaranya, atau dalam perjuangan politik sehari-hari. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam laporan mengenai pandangannya dalam Dewan Perwakilan pada tahun 1925: ‘Kami yakin bahwa kami mewakili mayoritas penduduk, bahwa kami mewakili kepentingan-kepentingan utama dari mayoritas masyarakat Italia. Karena itu, kekerasan kaum proletarian bersifat progresif dan tak bisa sistematis. Kekerasan Anda-lah yang bersifat sistematis dan sewenang-wenang secara sistematis karena Anda mewakili sebuah minoritas yang ditakdirkan untuk lenyap.’ Tentu saja, yang dimaksud dengan Anda di sini ialah wakil kaum borjuis dan fasis yang duduk dalam Dewan tersebut.

Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.