Senin, 13 Oktober 2008

Perang

Perang adalah kata yang tidak asing di dunia. Bagaimana mungkin tidak bisa disebut tidak asing, karena semua manusia di dunia ini tidak pernah tidak mengalami dunia yang tanpa perang.
Bagi Clausewitz, seorang jendarl terkemuka pada masa kejayaan Prussia, perang merupakan kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Ketegangan dalam hubungan antar-negara bermuara pada perang, tentu setelah upaya deplomasi gagal menemukan jalan damai.

Timur Tengah banyak menyimpan bara dalam sekam. Mulai dari jalur Gaza, Tepi Barat Sungai Yordan sampai dengan teluk Persia, jejak sejarah lebih diwrnai oleh peperangan daripada perdamaian.

Damai seakan-akan hanya sebagai tenggat di antara dua perang. Negara-negara dari luar kawasan itu sejak awal merupakan bagian atau penyebab konflik. Saudagar-saudagar Eropa, penguasa kolonial Inggris dan Perancis, dan Amerika serikat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh pergolakan yang terjadi di kawasan itu, karena minyak bumi, jalur perdagangan dengan Asia timur, maupun karena ambisi politik dan ideologi.

Perang sudah menghilangkan banyak nyawa. Arogansi Amerika Serikat dan Inggris menyerang Irak dan menjatuhkan presiden Saddam Hussien juga menghilangkan banyak nyawa. Dalam waktu 21 hari irak berhasil dikuasai dan presiden Saddam Hussien digulingkan dan akhirnya meninggal di tiang gantung.

Seorang Gubernur Jendral ditunjuk oleh Presiden George W. Bush untuk membangun sebuah Irak yang baru.

Selesaikah persoalan? Terbangunkah sebuah Irak yang baru? Terciptakah demokrasi di Negeri 1001 malam itu?

Tentu tidak semudah membalikan telapak tangan. Malah yang terjadi adalah masalah yang lebih besar. Masyarakat Irak seperti kehilanagn pegangan. Bangsa yang dulu kaya raya kini seperti bangsa pengemis. Setiap hari mereka harus berbaris untuk mendaptkan belas kasihan
Kekerasan demi kekerasan menjadi bagian bangsa itu. Tentara Amerika Serikat yang sebelumnya gagah berani untuk memasuki Irak dan menguasai Baghdad, kini menjadi korban. Jumlah Tentara Amerika yang tewas setlah perang usai melebihi ketika perang itu berlangsung.

Di Timur Tengah lainnya ada perang antra Israel dan Palestina. Satu sama lain saling membunuh. Saling membenci. Saling menghujat. Rumah-rumah rata dengan tanah. Ketakutan menyebar kesegala penjuru.

Bapak-bapak, ibu-ibu, nenek-nenek, kakek-kakek, bahkan anak-anak semua terlibat dalam perang ini.

Lihatlah kedua anak itu, bukankah anak seumur mereka belum layak untuk terjun kedunia perang. Tapi lihatlah dengan teliti apa yang mereka lemparkan. Hanya sebongkah kerikil bukan?
Anda pasti tahu bahwa sebongkah krikil itu tidak akan berarti apa-apa bagi musuhnya bukan? Tidak kah kau tahu bahwa sebongkah krikil itu akan dibalas dengan peluru-peluru tajam yang menghambur dari moncong senjata mesin.

Lalu apa yang mesti kita perbuat? Sampai kapan perang itu akan berakhir?



Read more...

Beringin, Masjid, dan Tuhan

Seorang pria paruh baya sedang bergelayutan di sebuah pohon beringin besar. Badanya kurus dan tinggi. Warna kulitnya coklat tua disertai guratan-guratan di sekujur tubuhnya. Kaus putihnya tampak tersapu debu. Tanganya memegang sebuah kapak yang digunakanya untuk memotong pohon beringin tersebut. Ranting demi ranting dia tebas. Tubuhnya berpindah dari satu dahan ke dahan lainya. Mengait cabang beringin satu demi satu. Begitu lincah dan piawai. Alhasil daun beringin yang awalnya hampir menyentuh tanah berubah menjadi gundul. Suasana berubah menjadi terang. Hanya saja cabang-cabang yang menjulang ke atas tidak dapat dia jangkau. Masih terlihat rimbunya beringin di bagian teratas.

Dia menyelesaikan pekerjaanya tepat setelah adzan ashar berkumandang. Sebuah gerobak telah penuh oleh kayu-kayu yang ia kumpulkan. Seorang wanita yang berkulit lebih gelap darinya membantu. Tubuhnya pun lebih kurus. Dia memakai rok panjang bermotif bunga-bunga. Baju atasanya pun tak jelas warnanya. sekilas terlihat putih tapi putih yang menguning. Wanita itu menggunakan kerudung merah muda yang terlihat begitu kontras di wajahnya. Dia mengangkut ranting-ranting pohon yang sudah dihilangkan daunya ke dalam gerobak. Sedikit demi sedikit. Lalu mereka beranjak dari tempat itu sambil mendorong gerobak. Saya tidak sempat menayakan siapa nama mereka.

Pagi itu tepatnya di bulan pebruari. Saya sedang mencoret angka delapan di kalender saat mendengar suara benda keras dipukul. Suaranya tidak begitu keras tapi cukup mengagetkan. Suara itu lama terdengar dan kemudian kembali sepi. Saya keluar rumah untuk mencari tahu, melihat ke ujung jalan tempat suara berasal. Terlihat seorang pria berjaket hijau lumut memegang sebuah besi. Kira-kira panjangnya 20cm. Dia berdiri tepat di depan tiang listrik. Akhirnya saya dapat menyimpulkan asal suara itu.

Selang beberapa menit beberapa warga desa Semanding kecamatan Dau kabupaten Malang datang beramai-ramai menuju punden. Punden adalah suatu tempat untuk meletakkan keranda yang dipakai mengusung jenazah. Warga desa Semanding juga biasa menyebutnya dengan istilah Kendal. Disana terdapat segala perlengkapan untuk memandikan dan menguburkan jenazah. Mulai dari tong tempat air, sampai selang dan peralatan pengurusan jenazah lainya.

Punden terletak tepat di samping pohon beringin. Di sana juga terdapat sebuah makam yang telah rata dengan tanah. Di ujung atas dan bawah makam ditandai dengan batu nisan yang tidak bernama. Ada tanaman liar di sekitarnya. Menurut Yuli warga semanding, makam itu adalah makam orang yang pertama kali membuka desa Semanding. Orang pertama yang menjadikan semanding sebagai pemukiman. Dalam istilah jawa disebut babat alas.

Warga datang ke punden dengan membawa makanan. Setiap perwakilan keluarga membawa satu jenis makanan. Ada yang membawa nasi putih lengkap dengan lauknya. Ada pula yang membawa nasi kuning atau buah-buahan. Makanan itu diletakkan di sebuah wadah yang bernama encek. Encek adalah suatu wadah yang terbuat dari pelepah pisang dan bambu yang dianyam. Diatasnya diberi daun pisang agar makanan tidak tumpah. Tapi tidak semua warga bisa membuatnya. Sebagian lainya menggunakan wadah plastik atau nampan. Lebih gampang dan praktis.

Setiap warga yang datang langsung meletakkan makanan yang dibawanya tepat di bawah beringin. “makananya tidak wajib, warga membawa makanan seikhlasnya. Tidak ada paksaan, ya semampunyalah.” Ujar Datinah. Menurut Datinah acara ini adalah bersih desa. Tujuanya meminta keselamatan untuk seluruh warga desa Semanding. Bersih desa juga dilakukan di desa-desa lainya di kecamatan Dau. Tempatnya pun beraneka ragam. Ada yang di jalan-jalan dan kebanyakan di bawah pohon beringin yang ada di desa bersangkutan.

Warga sudah ramai berkumpul. Laki-laki dan perempuan, juga anak-anak kecil. Mereka setia menunggu dimulainya acara bersih desa. Saya sudah lama menunggu begitu pula dengan warga lain. Beberapa bapak-bapak yang sudah lama menunggu mulai tidak sabar. Yang ditunggu tak kunjung datang. “Siapa yang ditunggu?” tanya saya pada wanita berkerudung tepat disamping saya. “Yang mimpin, mbak.” Jawabnya singkat sambil tersenyum ramah. Bapak-bapak mengutus seorang pria untuk memanggil seseorang yang telah biasa memimpin bersih desa. Seoarang pria berumur tiga puluhan berdiri dan keluar dari tempat warga berkumpul.

Tak lama kemudian seorang laki-laki tua memasuki punden. Namanya Kamid. Menyusul dibelakangnya laki-laki yang tadi pergi untuk memanggilnya. Kamid adalah petua desa yang biasa memimpin bersih desa. Dia membawa kantung kresek warna putih yang berisi arang. Setelah sampai di bawah beringin dia mulai mengeluarkan arang dan menyalakanya. Arang terbakar dengan cepat. Kamid memindahkan arang yang dibakar ke tempat yang lebih dekat dengan pohon beringin. Arang diletakkan di antara makanan-makanan dalam encek.

Setelah menyalakan arang, Kamid memasukkan sebuah batu kecil berwarna putih. Ternyata itu adalah batu kemenyan. Batu kemenyan menimbulkan kepulan asap yang berbau harum. Bau wangi memenuhi punden. Beberapa warga menutup hidung. Wangi kemenyan begitu menusuk pernapasan. Suasana mistis pun mulai terasa. Warga mulai hening. Kamid yang bersimpuh mulai komat kamit membaca doa. Acara telah dimulai.
Seorang pria berpeci berdiri memberi sambutan. Dia adalah Misdi, ketua RT. Dalam sambutanya dia menyatakan bahwa bersih desa merupakan kebiasaan leluhur yang harus dilestarikan. Dia menuturkan bahwa warga Semanding seyogyanya tidak melupakan warisan budaya leluhur. Adapun tujuan dari bersih desa adalah meminta keselamatan kepada Allah SWT. Terhindar dari segala mara bahaya, diberikan kesehatan, dan rezeki yang barokah. Semua itu dituturkanya dalam bahasa jawa.

Acara disambung dengan doa yang dibacakan oleh Kamid. Ia membaca doa berbahasa jawa yang diamini oleh seluruh warga. Ia berhenti sejenak. Kemudian pengeras suara berpindah dari tangannya ke tangan Jumain. Doa dilanjutkan. Kali ini Jumain melanjutkan doa ala Islam. Seluruh warga serempak mengamini. Di sela-sela doanya terdengar Jumain berdoa derngan bahasa Indonesia. “khususon untuk warga desa Semanding sekalian, alfaaatihah.”

Acara pembacaan doa merupakan penghujung acara. Acara usai saat Misdi selaku RT mempersilahkan warga menikmati makanan. Warga berebutan menagambil makanan. Warga tidak mengambil makanan yang mereka bawa sendiri. Tapi bertukaran dengan makanan warga lainya. Acara berlangsung ramai. Beberapa warga bahkan mendapatkan makanan lebih dari satu encek. Warga yang tidak membawa makanan pun pulang dengan encek yang penuh makanan.

Acara berlangsung tidak lebih dari 15 menit. Namun warga begitu gembira. Selama acara berlangsung tidak jarang mereka saling berbincang dan bercanda. Tidak semua dari mereka paham akan makna dan asal-usul upaca ini. Seperti yang dialami Umiasih. Dia adalah salah satu warga yang kurang mengerti dengan asal-usul bersih desa. Dia adalah pendatang yang telah 12 tahun tinggal di desa Semanding. Umiasih menikah dengan seorang laki-laki yang berasal dari Semanding. Saat ditanya mengapa acara dilakukan dibawah pohon beringin dia menjawab tidak tahu.

Semua warga sudah berhamburan keluar punden. Suasana kembali sunyi dan sepi. Yang tersisa hanyalah pohon beringin besar dengan punden dan juga makam disampingnya. Saya berjalan keluar mengikuti warga.
Di seberang jalan yang hanya berjarak sekitar 50 langkah dari punden terlihat sebuah masjid. Masjid yang begitu indah dan megah. Bangunanya masih baru. Di sana-sini masih terlihat beberapa bagian yang belum selesai dicat. Masjid itu terlihat sepi.

”Selametan desa, berarti berdoa kepada yang maha kuasa?” Tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan dibenak saya. Lalu pertanyaan-pertanyaan lain pun mulai menyesaki isi kepala: Adakah tempat yang lebih mustajabah selain rumah Tuhan itu. Adakah tempat yang lebih dekat dengan Tuhan selain di rumahnya sendiri? Atau pohon beringin yang besar itu memang lebih dekat dengan Tuhan? Entahlah!




Read more...

Lingkaran Kebebasan dalam Novel Pada Sebuah Kapal Karya Nh. Dini

Dalam pengantar buku The Second Sex, Simone de Beauvoir mengungkapkan bahwa pada zaman sekarang perempuan sedang dalam proses menuju pemulihan mitos feminisme. Mereka mulai menyatakan kebebasannya dengan cara terang-terangan. Tetapi, sebenarnya perempuan belum dapat menikmati kehidupan yang mereka inginkan seperti kaum laki-laki. Kemana pun mereka melangkah, garis akhir yang berupa pernikahan selalu berwujud, memaksa perempuan mengakui dominasi laki-laki.

Antagonisme terhadap dominasi laki-laki yang selalu dihubungkan dengan opresi perempuan tidak hanya dibicarakan oleh de Beauvoir. Pada tahun 60-an, NH Dini juga getol membicarakan permasalahan institusi pernikahan, dominasi laki-laki dan konstruksi sosial yang sangat patriarkal melalui novelnya, Pada Sebuah Kapal. Dalam karya ini, pembaca dihadapkan pada permasalahan-permasalahan kehidupan perempuan yang terjadi saat ini.

Sinopsis
Novel Pada Sebuah Kapal terdiri dari dua bagian, “penari” dan “pelaut”. Di bagian pertama, Sri, seorang perempuan Jawa, menjadi narator tokoh; di bagian kedua, Michel, seorang warga negara Perancis yang ditemui Sri pada perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles, mengambil alih peran tersebut. Dalam “penari” sejumlah peristiwa dalam kehidupan Sri disajikan secara kronologis mulai ia berusia tiga belas sampai tiga puluh tahun. Masa kecilnya di Semarang dan tahun-tahun bekerja di Jakarta diceritakan secara bertahap. Bagian ”pelaut” dibuka pada suatu titik yang sudah diceritakan dalam “penari”, yakni perjalanan kapal dari Saigon ke Marseilles. Peristiwa-peristiwanya tidak dikisahkan secara kronologis, melainkan diselang-selingi kilas balik tentang masa lalu Michel. “Pelaut” berhenti dengan kabar dari Sri kepada Michel bahwa ia, suami dan anaknya akan pindah ke Paris. Novel itu berakhir di sini, dengan menyisakan kemungkinan bahwa Sri dan Michel akan meneruskan hubungan diluar nikah.

Penentangan terhadap Konvensi Sosial
Kehidupan di Jakarta adalah awal keberanian Sri untuk menentang konvensi sosial yang sudah mengakar di otaknya. Cerita ini dimulai dalam jangka waktu singkat selama delapan belas bulan di Jakarta. Di sana Sri bertemu dua laki-laki, Saputro dan Charles (PSK;67-144). Dua laki-laki itulah yang selanjutnya mewarnai kehidupan Sri. Pertama, dengan Saputro. Pertemuan Sri dengan Saputro bukan sekedar pertemuan, tetapi berlanjut pada hubungan percintaan. Rasa cinta keduanya sangat kuat, sehingga mereka yakin dan tidak ragu melakukan hubungan suami-istri sebelum menikah (PSK;120). Namun sayang, tepat sebelum pernikahan mereka, Saputro meninggal dalam sebuah kecelakaan. Setelah sepuluh bulan peristiwa menyedihkan itu terjadi, Charles Vhincent hadir. Sri menikah dengan Charles, hidup dan membangun rumah tangga bersamanya. Hal menarik pada bagian ini bukan terletak pada hubungan Sri dengan Charles, tetapi hubungan dengan Saputro. Keberanian Sri melepas keperawanannya dengan Saputro adalah gambaran jelas penentangan terhadap konvensi sosial. Sri, sebagai gadis Jawa tidak mempedulikan norma-norma yang telah diajarkan sejak kecil.

Keharusan menjaga kesucian keperawanan ia lepaskan. Sri tidak menganggap penting menjaga kesucian sampai saat pernikahan dan ia yakin bahwa tidur dengan laki-laki yang dicintai adalah hal yang benar meski berlawanan dengan konvensi sosial. Sri sangat menyadari apa yang ia lakukan saat melanggar batas-batas yang ditetapkan atasnya sebagai gadis Jawa. Sebagai seorang pramugari pun, ia menjalani hidup yang ditentang oleh orang lain karena menurut standar masyarakat Jawa, pekerjaan tersebut memberikan terlalu banyak kebebasan bagi perempuan. Namun, ia tetap ingin mendapatkan kebebasan. Gambaran ini terlihat pada bagian:
Aku tidak menunggu saat perkawinan kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah kembali. Dan aku mencintainya. Apakah lagi yang mesti kami tunggu untuk saling melumat satu dengan lainnya, masa bodohkan hukum yang hanya dibikin oleh manusia abad-abad terakhir (PSK:120)

Penentangan terhadap Sangkar Keluarga
Seperti yang telah dijelaskan, Sri berasal dari sebuah keluarga Jawa. Ia pindah dari Semarang ke Jakarta dan kemudian meninggalkan Indonesia untuk hidup di luar negeri (Jepang dan Perancis). Sebelum hijrah ke luar negeri, Sri banyak mempraktikkan tarian tradisional Jawa dan Bali. Dari situ ia banyak memperoleh identitas ke-Indonesiaan yang merupakan bagian dari identitas pribadinya. Sayangnya, suaminya, Charles, tidak menghargai bakat Sri sebagai penari dan tidak memberikannya dukungan (PSK:168-173). Sri terpaksa menyerahkan sebagian identitasnya karena pernikahan dan sikap Charles. Penilainan Sri terhadap Charles seluruhnya bersifat negatif. Baginya, Charles adalah laki-laki kasar yang sama sekali tidak dapat memahami posisi dan perasaan-perasaannya, serta tidak mampu memberikan keseimbangan emosional dalam pernikahannya. Sri semakin merasa terkucil. Pernikahan dan sikap Charles benar-benar menjadi sangkar bagi Sri. Sri menggambarkan Charles sebagai pihak yang bersalah atas kegagalan pernikahannya, dan dirinya adalah korban. Itulah yang membuat Sri muak pada Charles. Gambaran perasaan ini terlihat dalam pernyataan:

“Pada saat-saat berdua, dia lebih nampak kelembutannya dan mulai membicarakan bayi yang akan segera lahir. Aku tidak memperhatikannya. Kalau bayi itu lahir biarlah dia berbuat sekehendak hatinya….Dengan hati-hati aku memalingkan mukaku untuk tidak melihat kemarahannya, dan kuusap perlahan perutku untuk melembutkan perasaan muak dan benciku kepada bapak anak yang kukandung (PSK;155-156)

Kemuakan Sri terhadap Charles diproyeksikan pula pada hubungan dengan anak perempuannya :

“Aku melihat anakku baru keesokannya……..dia tidak tampan, tiba-tiba aku berkata seorang diri. Aku mengingini seorang anak laki-laki tetapi yang lahir adalah seorang bayi perempuan yang amat jelek. Sebentar aku merasakan kekecewaan yang dalam” (PSK;157)

“Kalau anakku menangis, aku tidak selalu dapat menengoknya ke atas. Dan untuk seterusnya dia kubiarkan tumbuh tanpa aku sering-sering di sampingnya” (PSK:158)

Tidak berbeda dengan pandangan terhadap Charles, selain sebagai proyeksi kebencian, Sri juga memandang anaknya sebagai sangkar bagi langkahnya.

‘’Aku juga mempunyai keputusan”, kataku perlahan. Kalau terjadi apa-apa dengan dirimu aku tidak akan menangisimu. Aku juga tidak akan mau bersusah payah karena langkahku terhambat oleh seorang anak kecil yang lahir dari kau. Dia akan kuberikan pada sebuah penitipan anak-anak. Aku tidak mau membawanya bersamaku”…….( PSK: 186-187).

“Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau gila serunya…….” Aku tidak percaya”……” aku tidak perduli apakah kau percaya atau tidak. Bagiku anakku akan merupakan penghambat yang besar kalau aku harus bekerja di Eropah………”

“Kau bawa anakmu kalau kau mau, aku tidak membutuhkannya” ( PSK: 186-187).


Gambaran-gambaran di atas telah menunjukkan bahwa suami dan anak bagi Sri adalah sangkar yang merebut kebebasannya. Pertama, Charles tidak mengizinkannya untuk tetap menari, dan kedua, kehadiran anak menjadi penghambat yang besar untuk meneruskan karier di Eropa. Sebagai bentuk pemberontakan, tepatnya pada perjalanan kapal selama tiga minggu dari Saigon ke Marseilles (PSK : 188-229), Sri berani memutuskan melanjutkan cintanya pada Michel, laki-laki yang baru ditemuinya di kapal. Sri berani mengambil konsekuensi perselingkuhannya dengan laki-laki itu. Sembilan bulan usai perjalanan tersebut, kita diberitahu bahwa perkawinan Sri tetap seperti sedia kala, serta bahwa Sri dan Michel bertemu dua kali lagi di Jepang.

Lingkaran Kebebasan
Pada dua bagian di atas, terlihat betapa Sri melakukan beberapa upaya untuk mendapatkan kebebasan. Upaya-upaya tersebut ditempuh dengan cara yang paling kontroversial. Dalam kesempatan pertama, ia melanggar aturan kesucian sebelum menikah, dan dalam kesempatan kedua, ia melanggar monogami. Namun, benarkah dengan upaya tersebut, Sri mendapatkan kebebasan dan hidup dalam kebebasan itu? Ternyata tidak. Jawaban ini terlihat pada saat Saputro meninggal, dimana Sri tidak bisa melepaskan diri dari tekanan sosial. Masyarakat sekitar mengutuknya karena ia menjadi perempuan lajang yang sudah tidak suci lagi. Perbedaan dalam hal kebebasan seksual di Timur dan Barat menjadi penting bagi Sri sejak saat itu. Bahkan itu merupakan alasan utama menikahi Charles meski belum mengenalnya dengan baik.

Aku kawin dengan dia karena aku suka padanya, dan karena aku takut. Aku sadar akan kehilanganku. Pemuda-pemuda di negeriku menganggapku seorang wanita yang telah kehilangan kesuciannya sebagai sesuatu yang rendah. (PSK:154).

Sebelum kawin dia telah mengetahui bahwa aku pernah mencintai dan memberikan keperawananku kepada orang lain. Orang-orang Barat kebanyakan tidak keberatan akan masih suci atau tidaknya seorang perempuan yang menarik hatinya yang akan dikawininya (PSK: 150)

Pernikahan dengan Charles adalah tebusan rasa bersalah serta ketakutan akan penolakan sosial (PSK:133,154), sekaligus alat untuk melindungi diri dari rasa malu. Demikian halnya dengan upaya kedua, dimana Sri melanggar aturan dan menjalin hubungan dengan Michel. Hubungan dengan Michel adalah satu langkah menuju kebebasan pribadi. Namun, hubungan tersebut tidak memberikan solusi yang tepat bagi permasalahannya. Sri tetap terperangkap dalam kekangan penindasan perkawinannya yang berantakan. Ia tetap tergantung pada Charles, dan tetap berperan sebagai ibu dari anaknya, meski ia menyatakan sebaliknya. Sri tidak banyak menunjukan semangat juang dalam upayanya dalam mengubah hidup. Misalnya saja, dalam suatu kesempatan, ia meminta Charles mempertimbangkan perceraian (PSK:241). Ketika Charles bertanya apakah ada laki-laki lain, dia tidak menjawab. Artinya, Sri menghindar untuk mengatakan kebenaran (PSK;234-44). Sri tidak punya cukup inisiatif serta keberanian untuk menjalankan rencananya.

Di akhir cerita, ia tetap menjalani pernikahan yang tidak bahagia. Ini memberikan makna ganda pada tindakannya. Di satu sisi, ia memutuskan pola-pola lama dan memberi kesempatan pada dirinya untuk berubah; di sisi lain, ia menarik diri—takut terhadap kemungkinan menjalani hidup sebagai seorang perempuan yang benar-benar mandiri dan bebas. Novel ini tidak terlihat mengajak perubahan yang radikal terhadap nilai dan norma yang telah ada. ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan tidak benar-benar dihapuskan di sini, terutama sekali ketika Sri jatuh lagi ke dalam peran tradisional dalam hubungannya dengan Michel.

Mengenal Nh. Dini
Nh Dini adalah salah satu dari sekian banyak penulis perempuan yang ikut mewarnai dunia sastra Indonesia. Menganalisis karyanya menunjukan bahwa ia berprespektif feminis. Melalui tulisannya, Nh Dini menjadi wakil wanita untuk menyampaikan usul dan protes serta menjadi suara dari kebisuan perempuan.

Karena berprespektif feminis, karya-karya Nh Dini sering kali digugat sebagai “sastra seksual”. Nh Dini telah lama melakukan perlawanan terhadap konstruksi seksualitas perempuan sejak tahun 1970-an. Salah satu karyanya yang disunting untuk melakukan perlawanan adalah Kemayoran, yang menggugat mitos malam pertama dengan menekankan kesakitan perempuan yang biasanya terbisukan oleh wacana kejantanan laki-laki.

Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.

Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan kaum perempuan.

NH Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara. Ayahnya wafat semasih duduk di bangku SMP

Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah.

Pada 1960 Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang,. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja.

Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura (Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.

Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis.

Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.


Read more...

Kritik Foucault Terhadap Positivisme: Pembacaan Arkeologis dan Geneanologis atas Rezim Kuasa

Dan ‘kebenaran’ sekarang adalah apa yang diajarkan oleh para pengkhotbah yang berasal dari mereka pula, orang suci dan pembela orang-orang kecil yang bersaksi tentang dirinya sendiri: ‘akulah kebenaran’
(W.F Nietszche dalam Thus Spake Zarathustra)

Abad 20, selain dikenal sebagai abad kekerasan, juga merupakan abad yang penting dalam proses memikirkan manusia sebagai manusia. Titik penting ini, tampak dalam kelahiran dua model pemikiran filosofis, yaitu eksistensialisme dan post-modernisme. Eksistensialisme, telah mengembalikan ke-aku-an subyek manusia, sedang postmodernisme memberi kesadaran bagi manusia memahami dirinya dari selubung palsu kesadaran yang berkuasa, meliputi kaidah umum hingga bagian yang terkecil dan tak terpikirkan secara sadar.

Dalam postmodernisme, tampaklah dengan anggun beberapa pemikir berjalan beriringan memperkenalkan busana mereka. Francois Lyotard memperkenalkan busana kritik terhadap proyek manusia gagal (baca, dehumanisasi), Jacques Derrida memperkenalkan kebebasan dan pembongkaran pada penafsiran bahasa –seperti juga Roland Bhartes-, Jean Baurdillard menanggalkan selubung yang ada pada masyarakat konsumsi, dan terpenting Michel Foucault yang membongkar selubung kuasa dibalik segala realitas yang ada. Alur pemikiran post-modernitas yang bersifat dekonstruktif ini, menisbahkan pemikiran mereka kepada sang mahaguru eksistensialisme, Wilhelm Friedrick Nietszche.

Diantara pemikir postmodernisme, yang sangat dipengaruhi Nietszche adalah Michel Foucault dan Gilleze Deleuze. Kedua orang ini, sama-sama orang perancis. Sama-sama memikirkan Nietszche, dan lebih penting, sama-sama menghidupkan pemikiran gurunya dengan jiwa yang baru, -terutama- dalam konteks geneonologi dan hubungannya terhadap rezim kekuasaan.

Tulisan ini, tidak cukup cerdas untuk memikirkan bagaimana dua pemikir besar tersebut, memikirkan dan menghidupkan Nietszche. Tulisan ini hanya mencoba memberi perhatian kepada pemikiran Foucault. Ia dinilai lebih penting --tentunya dari perspektif penulis secara subyektif-, mengingat Foucault menghidupkan pemikiran Nietszche sebagai kritik terhadap modernitas meliputi sistem pengetahuan dan dunia real lainnya--dengan klaim metodelogis serta historis.

Bagi penulis, pencarian kesadaran berdasarkan klaim metodelogis sekaligus historis sangat jarang dilakukan para filsuf. Umumnya, mereka hanya beranjak pada dunia metafisik dan estetika an sich. Dan Foucault membaca kesemua realitas tersebut, lewat jalur arkeologis dan geneanologis.
Paper ini ‘bertugas’ memberi sedikit penjelasan terhadap kedua model pembacaan ini sebagai bagian dari pembongkaran terhadap rezim kuasa. Itu saja!


Sekilas Tentang Foucault
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis pada tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis, ayahnya seorang ahli bedah, seperti juga saudara dan kakeknya. Orang tua Foucault mengharap anaknya mengikuti jejak yang sama, tetapi ia “membangkang” dan memilih belajar filsafat, sejarah dan psikologi. Sikap ini mengisyaratkan bahwa sejak lama Foucault memang tidak menyukai sesuatu yang mapan. Ia menempuh masa studinya di Ecole normalle superiure pada 1945 dan mendapat license pada bidang filsafat (1948), psikologi (1950) dan psikopatologi (1952).

Selanjutnya ia mengajar psikopatologi di Almamaternya, menjadi dosen di Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan budaya Perancis (1954-1958) serta menjadi direktur pusat kebudayaan Perancis di Polandia (1958) dan kemudian di Jerman (1959). Pada 1960 ia kembali pulang ke Perancis, dan berhasil memperoleh gelar “doctor negara” dengan hasil penelitiannya mengenai “Sejarah Kegilaan”.

Pada 1960-an Foucault juga mengajar universitas-universitas di Montpellier, Tunis, Clemor Ferrand dan Paris Nanterre. Ia juga adalah salah seorang pendiri Universitas Paris Vincennes (Terkenal sebagai Universitas Paris VIII), sebagai hasil ekperimentalnya dalam pembaruan system pendidikan pasca pemberontakan mahasiswa 1968. Ia tak lama mengajar disana, karena pada Desember 1969 ia diangkat sebagai professor di College de France. Selain menjadi dosen tamu di Eropa, Faucault juga kerap menjadi dosen tamu di beberapa universitas di Amerika Serikat. Selain sebagai seorang akademisi dan pemikir, Foucault juga pernah aktif sebagai aktivis partai komunis perancis, sejak pasca PD II hingga tahun 1951.

Pada 1984, ia meninggal dunia pada umur 57 tahun –konon kabarnya penyebab kematiannya karena terserang AIDS-. Pada upacara pemakamannya, kawan karibnya Gilles Deleuze membacakan halaman terakhir dari Arkeologi Pengetahuan.

Sebagai akademisi, Foucault banyak melahirkan pemikiran dan sangat produktif dalam menuliskan pemikirannya. Karya-karyanya antara lain: Maladie meladie et personalite (1954) yang membahas mengenai penyakit jiwa dan kepribadian, Folie et deraison: Historie de la folie a l’age classique yaitu deksripsi historis-filosofis atas kegilaan pada masa klasik (1960), Raymod Russel yang membahas mengenai sastrawan perancis (1963), Naissance de la clinique: une archeologie du regard medical yaitu mengenai sejarah arkeologi klinik/medis (1963), Les mots et les choses: une archeologie des sciences humaines yang membahas arkeologi ilmu-ilmu manusia (1966), L’archeologie du savoir yaitu bahasan arkeologi pengetahuan (1969), L’ordre du discurs atau susunan diskursus (1970), Surveiller et punir: Naissance de la prison yaitu tentang sejarah penjara (1975), sebuah rekaman historis pembunuhan abad ke-19 yang berjudul Moi, Pierre Riveire …(1973), serta terakhir adalah tiga jilid dari Historie de la sexuality atau sejarah seksualitas yaitu La volonte de savoir (1976), L’usage des plaisirs (1982) dan L’souci de soi (1984).

Transliterasi Reflektif ke arah Metodelogis: Nietszche ke Foucault

Tak dapat dipungkiri, ide-ide rezim kekuasaan dalam pemikiran Foucault mendapat rujukan pantas dari pemikiran Nietszche dalam “Will to Power”. Foucault memperluas cakrawala berfikir Nietszchean yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah suatu bentuk kehendak untuk berkuasa. Bagi Nietszche, ide tentang pengetahuan murni tidak dapat diterima, karena nalar dan kebenaran tidak lebih dari sekedar sarana yang digunakan oleh ras dan spesies tertentu. Kebenaran bukan sekumpulan fakta, karena hanya mungkin ada interpretasi dan tidak adanya batas bagaimana dunia di interpretasikan. Jika kebenaran memiliki sandaran historis, maka ia merupakan konsekuensi dari kekuasaan.

Gagasan segar Nietszche diatas, kemudian dipikirkan kembali dan diperluas secara metodelogis oleh Foucault yaitu dengan apa yang disebutnya arkeologi dan geneanologi. Kedua hal ini adalah pendekatan yang bertujuan untuk melakukan pembongkaran terhadap mitos dalam sebuah system pengetahuan.
Tentang Arkeologi
Arkeologi adalah pendekatan yang Foucault lakukan hingga 1970. Ia mendefinisikan arkeologi sebagai eksplorasi sejumlah kondisi historis nyata dan spesifik dimana berbagai pernyataan dikombinasikan dan diatur untuk membentuk atau mendefinisikan suatu bidang pengetahuan/obyek yang terpisah serta mensyaratkan adanya seperangkat konsep tertentu dan menghapus batas rezim kedalaman tertentu.[6] Arkeologi menekankan pada penggalian (excavation) masa lalu ditempat tertentu. Foucault berusaha mencari jejak-jejak yang ditinggalkan dari sebuah ritus atau monumen diskursif. Baginya setiap obyek historis yang berubah, tidak boleh ditafsirkan dalam perpektif yang sama. Sehingga dalam hal ini, diskursus senantiasa bersifat diskontiniu. Pemahaman ini dibuktikan akan kenyataan bahwa selalu saja terjadi keterputusan historis, antara bagaimana suatu obyek di konseptualisasikan dan dipahami. Selalu saja ada jarak, dalam menafsirkan obyek.

Kajian teoritik mengenai arkeologi Foucault terletak pada dua karyanya yaitu Les mots et les choses (1966) dan L’archeologie du savoir (1969). Dalam Les mots, Foucault memperkenalkan istilah episteme yang merujuk kepada pengandaian, prinsip, kemungkinan dan cara pendekatan tertentu yang dimiliki setiap zaman dan membentuk suatu system yang kokoh. Episteme bekerja secara sembunyi, menelusup dalam pemikiran, pengamatan dan pembicaraan yang muncul secara nirsadar. Sangat wajar jika perspektif ini banyak dilihat orang, sebagai kecenderungan strukturalis. Pada buku L’archeologie du savoir, tema mencolok yang dipaparkan Foucault adalah diskontinuitas dalam sejarah. Foucault agaknya sependapat dengan sejarawan mazhab annals yang menjelaskan sejarah atas dasar konseptual. Dahulu, sejarah dipaparkan menekankan kontinuitas dimana sesuatu berjalan secara linier dan evolutif. Sekarang, tugas sejarah justru sebaliknya, memaparkan diskontinuitas. Jika kita membaca “kesatuan”, maka seharusnya dibaca sebagai “ditafsirkan sebagai kesatuan”. Jadi setiap pemikiran atau fakta sejarah harus dimengerti sebagai kumpulan pernyataan, yang berpangkal pada titik intensi pengarang yang melahirkan pernyataan tersebut. Karena itu, dalam obyek penelitiannya, Foucault lebih suka berbicara mengenai “bentuk diskursif” daripada tentang ilmu, teori dan sebagainya. Untuk itu yang harus dilihat adalah aturan-aturan mana yang menguasai terbentuknya obyek diskursif itu.[7]

Sebagai contoh adalah kajiannya terhadap sejarah kegilaan.[8] Karya ini berbicara tentang eksklusi kegilaan dari cakupan hal-hal yang bersifat rasional yang ada dalam sejarah psikiatri, dan ternyata kemudian berfungsi untuk mengokohkan rasionalisme barat. Rasio sudah sangat monologal, sehingga melihat kegilaan sebagai obyek yang mesti disisihkan dan dibersihkan dari subyek rasional, yaitu dengan mencampakkannya sebagai penyakit mental. Padahal pada hakekatnya, kegilaan bersifat komplementer terhadap rasio.

Dalam studi ini, Foucault membedakan tiga zaman perjumpaan kegilaan dan rasio, yaitu masa renaissance, klasik (abad 17) dan modern (abad 18). Pada masa renaissance, terdapat dialog antara kegilaan dan rasio, karena kegilaan masih dianggap menyimpan unsur kebenaran. Masa klasik, ilmu psikiatri mulai muncul dan memandang kegilaan sebagai hal yang harus disisihkan dari wilayah rasio. Untuk menanganinya maka di Perancis dan juga Inggris, didirikan tempat pengurungan bagi kegilaan dan juga tempat terapi bagi penyembuhannya. Pada akhirnya di zaman modern, psikiatri benar-benar berkuasa dan kedua praktik eksklusi ini sepakat mengeluarkan kegilaan sama-sekali dari wilayah rasio. Dengan demikian, pengetahuan mengenai kegilaan setiap zaman senantiasa berbeda, dan tentunya, hal ini diakibatkan kepada pemahaman struktur masyarakat yang membentuknya—epsteme.

Tentang Geneanologi
Pendekatan metodelogi yang kedua adalah geneanologi, yang mulai dikembangkannya sejak ia memberi mata kuliah tentang Nietszche di Universitas Vincennes pada 1969.[9] Istilah geneanologi yang digunakan Foucault yang dikembangkan dalam Surveiller et punir, tentu saja mengingatkan kita kepada konsep geneanologi Nietszche dalam “The Birth of Tragedy and Geneanology Morals”. Nietszche mendefinisikan geneanology sebagai antitesa kecenderungan pencarian asal-usul yang bersifat alpha-omega, dengan kata lain Nietszche menolak obyektifitas dan monopoli versi kebenaran.[10]

Pendefinisian Nietsche diatas, kemudian diambil alih oleh Foucault untuk menunjukkan relasi kontinuitas-diskontiuntitas dalam sebuah diskursus. Jadi dalam hal ini, geneanologi mengambil bentuk berupa pencarian kontinuitas dan diskontinuitas dari diskursus. Geneanologi tidak mencari asal-usul, melainkan menelusuri awal dari pembentukan diskursus yang dapat terjadi kapan saja. Foucault dalam kerangka metodelogis ini, tidak menggunakan verstehen (pemahaman) melainkan destruksi dan pembongkaran hubungan-hubungan historis yang disangka ada antara sejarawan dengan obyeknya. Jika dalam arkeologi, proyek metodelogi diarahkan untuk menggali situs local praktik diskursif, maka geneanologi beranjak lebih jauh yaitu untuk menelaah bagaimana diskursus berkembang dan dimainkan dalam kondisi historis yang spesifik dan tak dapat direduksi melalui operasi kekuasaan.[11] Sehingga tanpa disadari kekuasaan menelusup dalam setiap ruang. Pada titik inilah, Foucault telah memperluas obyek samar “kuasa” yang ditinggalkan Nietszche dan menjadikannya tema terpenting bagi pemikirannya kemudian. Geneanologis diarahkan Foucault untuk menganalisa strategi kuasa yang berbelit-belit, yang harus dipahami dari dalam -lewat aturan, nilai yang berlaku bahkan juga tutur kata dan kebiasaan-.

Sebagai contoh kajian geneanologis ini adalah kajian Foucault mengenai penjara, sekolah dan rumah sakit yang menunjukkan beroperasinya kekuasaan dan disiplin dalam pembentukan atau penggunaan pengetahuan, termasuk kontruksi subyek sebagai efek diskursus. Dalam Surveiller et punir (1975), Foucault menggambarkan bagaimana strategi khusus kuasa –menjaga dan menghukum- muncul sebagai fenomena eropa abad ke-18. Ia melihat parade-parade militer, pedoman tata-tertib sekolah, cara membangun panopticum (sejenis penjara), rumah sakit dan tangsi adalah cara-cara untuk mengatasi sisi gelap abad pencerahan, yaitu biara dan kastil tua, puisi romantik yang dinilai bercita-rasa gelap dan kabur. Kekuatan masa modern, jelas tidak menyukai hal itu, sehingga mitologi tersebut harus didisiplinkan dengan cara yang baru.[12]

Dengan demikian, diskursus mengatur bukan hanya yang dapat diungkapkan, tetapi juga siapa yang mengungkapkan, kapan dan dimana. Secara khusus, rezim kebenaran adalah hasil produksi kekuasaan yang subyektif, karena melibatkan relasional pengetahuan sehingga bersifat disiplin. Foucault bermaksud menunjukkan hubungan antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan tehnologi dominasi. Bahwa tumbuhnya ilmu kemanusiaan berhubungan dengan praktik pendisiplinan tingkah laku dan adat kebiasaan yang dibakukan secara institusional dan juga sering secara arsitektural -yaitu merujuk kepada pendirian penjara, rumah sakit, asrama dan seterusnya-. Monumen arsitektural, dimata Foucault adalah monumen kemenangan rasio atas kegilaan, bahkan juga menaklukkan seluruh ritus kemasyarakatan.

Kritik terhadap Kuasa Pengetahuan
Dalam dua pembacaan metodelogis diatas, maka usaha ini harus ditempatkan sebagai kritik Foucault terhadap pengetahuan. Kritik ini terutama didasarkan pada satu klaim Foucault, bahwa pengetahuan adalah bagian dari strategi kuasa, sehingga dengan sendirinya bersifat subyektif. Foucault bergerak pada jalur penyingkapan kedok rasio dengan segala perwujudannya dalam modernitas. Berbeda dengan postmodernis lain, dia tidak bergerak pada dunia metafisika ataupun estetika[13] dalam kritik-kritiknya, melainkan dalam dunia ilmu kemanusiaan. Karena dibelakang ilmu kemanusiaanlah, cara kerja rasio begitu terlihat monologal dengan segenap kuasanya. Dan Foucault berhasrat untuk menelanjangi selubung tersebut.

Kaum positivisme percaya bahwa obyektifitas itu ada. Untuk meyakinkan terhadap kebenaran klaimnya, maka dibuatlah serangkaian aturan atau prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran. Foucault menelanjangi modernitas ini, yaitu dari sisi metodelogis, lewat bukunya Les mots et les choses (1966), L’archeologie du savoir (1969) dan L’ordre du discurs (1970). Buku-buku ini memuat konsep kerja yang dibangun Foucault, seperti arkeologi, geneanologi, episteme serta kuasa. Tujuan dari pembangunan semuanya adalah untuk menunjukkan kegagalan modernitas yang mengklaim obyektifitas dalam pandangan keilmuannya.

Bagi Foucault tidak ada sesuatu yang obyektif, karena segala sesuatu subyektif, segala sesuatu memiliki ruang cipta -baik sadar atau tidak- ketika sebuah pengetahuan disusun. Bahkan pengetahuan sendiri muncul, sebagai sesuatu yang subyektif dalam fungsinya mencampakkan gejala unreason atau ketidaksadaran (baca, kegilaan). Pengetahuan selalu bersifat politis, tetapi bukan karena mempunyai konsekuensi politik atau digunakan demi kepentingan politik, melainkan karena pengetahuan dimungkinkan karena adanya relasi-relasi kuasa. Dan kuasa itu tidak selalu bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalu normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak dapat dilokalisasi, karena ia bekerja lewat aturan dan susunan. Dengan demikian kuasa tidak bersifat negatif, refresif dan subyektif, justru kuasa memiliki ciri positif dan produktif. Kuasa memproduksi realitas dan juga ritus-ritus kebenaran.

Selain memberi uraian metodelogis, Foucault juga menerapkannya dalam analisis studi kasus beberapa tema penelitiannya. Studi kasus Foucault meliputi obyek kegilaan, penjara dan seksualitas. Menurut hemat penulis, sangat mungkin adanya kesengajaan dalam pemilihan obyek kajian Foucault. Kegilaan ingin menunjukkan normalisasi dan regulasi yang memenangkan rasio. Penjara ingin menunjukkan bagaimana rasionalitas menormalisasikan sesuatu yang dianggap menyimpang sebagai upaya menghukum dan mendisiplinkan pelakunya, selain itu penjara juga dilihat sebagai monumen dari bekerjanya rezim disiplin. Sedangkan seksualitas, dilukiskan sebagai titik utama pelaksanaan kekuasaan dan produksi subyektivitas dalam masyarakat barat. Subyektifitas memiliki batas-batas yang sama dengan seksualitas sebagaimana subyek yang terbentuk melalui produksi seks dan kontrol tubuh.[14] Kedokteran, gereja, psikoanalisis, program pendidikan dan demografi adalah diskursus yang menganalisis, mengklasifikasi dan mengatur seksualitas serta menghasilkan subyek berjenis kelamin. Dengan demikian studi kasus Foucault ini, menunjukkan bagaimana kerja teoritis episteme bekerja pada level praktis dan menjawab tantangan filosofis yang cenderung abstrak.

Dengan melakukan kritik terhadap susunan pengetahuan, maka gugatan ini dengan tepat meruntuhkan seluruh jantung klaim keabsahan pengetahuan yang demikian di lihat sebagai sesuatu yang mapan. Secara khusus, Foucault melihat kecenderungan operasionalisasi pengetahuan, telah menjadikan ilmu-ilmu kemanusiaan, -seperti sejarah antropologi- kehilangan nilai kemanusiaannya. Foucault mencoba memanusiakan kembali manusia.

Referensi
Barker, Chris. Culture Studies, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005.
Bertens, K. Filsafat Barat XX Jilid II Prancis, Jakarta: PT Gramedia, 1996.
Deleuze, Gillez. Nietszche, Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2000.
Foucault, Michel. Disipline and Punish, London:1977
.___________Maddnes and Civilization, (edisi terj. Indonesia), Yogyakarta: Ikon, 2001.
___________ Seks dan Kekuasaan, Jakarta: PT Gramedia, 1997.
Hobsbawm, Eric J. The Age Of Extremes, London: Abacus, 1995.
Lash, Scott. Sosiologi Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Macey, D. The Lives of Michel Foucault, London: Hutchinson, 1993.
Nietszche, W.F. Geneanology Moral (edisi terj. Indonesia), Yogyakarta: Jalasutra, 2001.

Read more...

Mengembangkan Imajinasi Naratif dalam Pendidikan Alternatif

Pendidikan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat di belahan dunia mana pun. Tujuan dalam proses pendidikan tersebut [dalam Islam] sering disebut dengan fitrah. Fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan menjadi bebas. Kesemuanya itu disebut dengan tujuan humanisasi (ke-ummat-an).

Sepanjang sejarahnya, pendidikan bukanlah proses yang didalamnya terdapat pemaksaan atau doktrin, tetapi gerakan melawan kecenderungan tersebut. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas serta kebebasan pemaknaan. Itulah kiranya idealitas pendidikan.

Namun pada kenyataanya, pendidikan yang diharapkan mampu menjadikan diri serta orang lain terentaskan dari penindasan dan kesengsaraan justru menjadi aktor yang menindas manusia. Selama ini, kita melihat penindasan justru lahir dari dunia pendidikan yang kita banggakan dengan sebuah lembaga yang bernama sekolah. Dari semua hal tersebut ada sebuah perenungan yang bisa kita jadikan evaluasi bersama, benarkah sekolah adalah satu-satunya lembaga yang memiliki otoritas pendidikan bagi masyarakat? Benarkah orang yang tidak bersekolah identik dengan predikat tak berpendidikan? Bagaimana pendidikan seharusnya dimaknai? merupakan beberapa hal yang perlu mendapatkan jawaban dan pensikapan yang lebih bijak.
Menimbang Pendidikan Alternatif

Pendidikan sejak awal perkembangannya dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa “kolonial”. Pikiran itu berkembang setelah timbul dan adanya kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat pribumi untuk melawan, seperti halnya di Indonesia, selama kurang lebih tiga setengah abad lamanya.

Pendidikan yang berpijak pada budaya “pribumi” di Indonesia mulai bersemi di tengah dominannya model pendidikan kolonial yang diskriminatif sejak awal abad ke-19. Model robotik pendidikan dengan metode hafalan dan tekanan sikap penurut melahirkan gagasan bagi beberapa orang untuk mencoba memahami arti dan makna pendidikan secara lebih luas. Di antara yang sedikit tokoh pelopornya dan dijadikan “pendidikan alternatif” pada zamannya adalah Rabindranath Tagore di India dengan Santiniketan-nya, Ki Hadjar Dewantara dengan Taman Siswa-nya, Ivan Illich dengan Deschooling Society-nya serta Paulo Freire dengan Conscientization (penyadaran)-nya.

Rabindranath Tagore atau sering disebut dengan Gurudev lahir di Kalkuta, India pada 7 Mei 1961 dan meninggal pada 7 Agustus 1941 di kota yang sama. Ia lebih dikenal sebagai sastrawan besar India dan merupakan orang Asia pertama yang mendapat anugerah Nobel dalam bidang sastra pada tahun 1913. Namun, di awal abad ke-20, selain menghasilkan karya-karya sastra, ia juga mendirikan sekolah yang khas dengan metode yang mencerahkan dan memberikan kemandirian pada murid-muridnya yang dikenal dengan nama Santiniketan; yang dalam bahasa Arab bermakna darrussalam (tempat tinggal yang damai).

Pemahaman mendalam yang terdapat dalam karyanya, Agama Manusia (Tagore, 2003:189) tentang kesadaran esensi illahiyah yang diyakininya telah mengental dalam kesadaran manusiawi, yang secara tidak sadar bergerak dalam pikirann dan telah memaksanya keluar dari mendalami sastra dan mengambil bagian dalam dunia kegiatan praktis (pendidikan). Kebutuhan untuk memperoleh realisasi diri spiritual dalam kehidupan manusia dengan melakukan layanan yang tidak mementingkan diri. Pada waku itulah didirikan sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak yang merupakan “kuil hidup” yang telah ia rintis.


Santiniketan merupakan sebuah lembaga pendidikan yang khas dengan budaya lokal dan sesuai kebutuhan masyarakat umum, berbeda dengan sekolah-sekolah yang didirikan oleh penjajah Inggris pada masa itu. Di Santiniketan, proses pembelajarannya dilakukan secara sederhana. Belajar dilakukan dengan duduk di atas rumput yang dinaungi pohon rindang. Tetapi pelajarannya sangat bermakna dan membekas pada diri murid-murid. Di sana diajarkan hal-hal atau keahlian yang sesuai dengan keperluan dan kondisi penduduk lokal setempat, dikembangkan berdasar kearifan lokal (local genius), bersahabat dengan alam, ketrampilan praktis, dan lain-lain, sehingga mereka yang lulus dari sekolah tersebut benar-benar bisa memanfaatkan ilmunya pada kehidupan sehari-hari. Dan inilah kiranya yang dalam istilah sekarang disebut dengan pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning).

Tokoh kedua sebagai figur dan sekaligus sebagai tokoh pendidikan bagi rakyat Indonesia adalah Ki Hajar Dewantoro. Ki Hajar Dewantoro lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat di Yogyakarya pada 2 Mei 1889, merupakan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi dengan semboyan yang berbunyi “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Sampai saat ini semboyan tersebut masih dipakai dalam semboyan pendidikan di negeri ini. Hari kelahirannya kemudian diperingati dengan hari pendidikan Nasional. Gagasan tentang pendidikan yang memerdekakan lahir atas pengamatannya terhadap sistem pengajaran kolonial. Menurutnya, pendidikan dan pengajaran kolonial menjauhkan rakyat pribumi dari realitas sehari-hari dan itu berarti menghapus kesadaran akan kemerdekaan dari penjajahan kolonial.

Kritik atas sistem pendidikan kolonial ini diberi bentuk konkret dengan membangun perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Ketertarikan banyak orang di masa itu untuk menyekolahkan anaknya di Taman Siswa didorong oleh sistem pengajaran yang menekankan pada kemerdekaan anak didik. Berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang juga dianut oleh pemerintah kolonial, Taman Siswa mendidik murid-muridnya supaya berperasaan, berpikiran, dan bekerja merdeka di dalam batas-batas tujuan untuk mencapai hidup tertib bersama. Sebaliknya, pada saat itu, karakter pengajaran kolonial menekankan pada perintah, hukuman, dan ketertiban (regering, tucht, orde).

Taman Siswa menjalankan asas kerakyatan yang membuat pendidikan dan pengajaran berguna bagi lapisan besar masyarakat pribumi. Penyakit individualisme yang memisahkan satu orang dengan orang lain digantikan dengan nilai-nilai kekeluargaan (nasionalisme). Nilai-nilai kekeluargaan atau kolektif ini dikemukakan Ki Hajar Dewantara bukan untuk menghilangkan kemerdekaan personal. Sebaliknya, di dalam hidup merdeka seseorang harus ingat bahwa ia hidup bersama orang lain yang juga berhak menuntut kemerdekaan diri. Oleh karena itu, pengajaran nilai kolektif dimaksudkan untuk memberi kesadaran tentang kehidupan bersama dalam bingkai persatuan masyarakat.

Tiap-tiap Orang djadi Guru, tiap-tiap Rumah djadi Perguruan! Demikian bunyi semboyan Ki Hadjar Dewantara. Semboyan ini, menganjurkan suatu gerakan mobilisasi untuk belajar bagi seluruh rakyat pada masa itu. Mobilisasi intelektual yang dimaksud di sini adalah mengerahkan seluruh sumber daya manusia yang ada untuk memberi pengajaran kepada anak-anak pribumi. Anjuran ini merupakan cita-cita pendiri perguruan Taman Siswa untuk memajukan pendidikan rakyat.

Ivan Illich melalui Deschooling Society, yang dialihbahasakan dengan judul Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah (Ivan Illich: 2000) mengungkapkan bahwa anggapan mengenai sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan adalah bias dari kehidupan kapitalis yang telah merasuk dalam kesadaran masyarakat. Menurut Illich, sekolah adalah fenomena modern yang lahir seiring dengan perkembangan masyarakat industri kapitalis. Konspirasi terselubung antara pendidikan dan kapitalisme menurutnya juga tak lepas dari dukungan pemerintah (kekuasaan), sehingga daya hegemonik yang diciptakannya menjadi massif.

Struktur masyarakat industri menurut arkeolog gagasan [Illich] yang lahir di Wina, Austria tahun 1926 ini telah menyeret kesadaran masyarakat kepada dependensi institusional dalam banyak hal. Masyarakat selalu dan hanya mengaitkan pendidikan dengan sekolah, pelayanan kesehatan dengan rumah sakit, dan seterusnya. Ketergantungan masyarakat terhadap institusi sekolah untuk memperoleh pendidikan menurutnya merupakan suatu bentuk kelembagaan nilai yang mau tidak mau pada akhirnya menimbulkan polusi fisik, polarisasi sosial, dan ketidakberdayaan psikologis. Definisi dan label-label sosial diciptakan dalam kerangka hubungan dengan lembaga sekolah. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan serta hakikat diri dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah. Sekolah (formal), dalam pandangan Illich, tak ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. Anak-anak bersekolah untuk disodori apa yang mesti dipelajari dan apa yang tidak boleh dipelajari. Mereka diiming-imingi bahwa dengan semua itu, impian-impian hidup akan tergapai. Imajinasi mereka “disekolahkan” untuk menerima jasa pencangkokan nilai-nilai.

Gagasan radikal yang digulirkan oleh Ivan Illich mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil tempat kelahirannya, dimana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa (Paulo Freire, Politik Pendidikan: 2001). Bagi Freire, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientization), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah Brazil yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya, pengenalan abjad terkait dengan pembebasan. Karena itu program pemberantasan buta huruf yang ia ciptakan sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Arkeolog gagasan kelahiran Brazil pada 19 September 1921 dan meninggal pada 2 Mei 1997 ini mengungkapkan bahwa proses penyadaran (consientization) dan pembudayaan (culturation) berjalan terus-menerus demi mewujudkan sebuah peradaban dan tatanan kehidupan kemanusiaan yang lebih adil. Pendidikan akan menjadi diskursus tandingan (counter discourse) terhadap diskursus yang menghegemoni dan menindas, agar arus perubahan selalu terjaga dan terjadi dalam segala aspek kehidupan manusia.

Pendidikan yang dibutuhkan oleh lapisan masyarakat menurutnya adalah pendidikan yang membebaskan manusia untuk selalu sadar akan dirinya dan tidak teralienasi dari masyarakat dan dunianya. Sebuah proses pendidikan yang tidak tercerabut dari realitas sosial, bukan pendidikan yang malah menjauhkan manusia atau peserta didik dari kenyataan hidup yang ada. Paradigma pendidikan yang mengarahkan manusia untuk senantiasa menyadari bahwa dirinya sedang mengalami transformasi terus-menerus (learning to be) dan untuk selalu “menjadi sesuatu” (becoming to), sangat signifikan keberadaannya.

Dari beberapa latar belakang dan kondisi sosial yang melingkupi para tokoh pendidikan di atas, dapat diambil beberapa kesamaan tipologi dalam merekonstruksi konsep pendidikan yang ditawarkan dan dijadikan sebagai alternatif. Setidaknya ada lima kesamaan tipologi mendasar: pertama, pendidikan yang dilakukan merupakan pendidikan untuk meng-counter kaum dominan baik oleh kolonial maupun penguasa pada masanya. Kedua, pendidikan yang dilaksanakan bertujuan untuk memahami realitas sosial. Ketiga, adanya pembebasan dan penghargaan yang luas kepada peserta didik dalam mengaktualisasikan diri dan kemampuannya. Keempat, berbagai model pendidikan, entah yang kemudian menamakan ‘pendidikan alternatif, ‘sekolah bebas’, atau bahkan de-sekolah-isasi, tersebar sebagai sentra pendidikan yang dibangun atas dasar kesederhanaan dan keterbatasan kemampuan, terutama dari segi finansial bisa dibaca sebagai pesan yang mengatakan bahwa transformasi pengetahuan dan sosialisasi tidak hanya menjadi monopoli sekolah dengan segala atributnya. Belajar bisa dilakukan dimana saja, kapan saja dan diselenggarakan oleh siapa saja. Kelima, formalisme kelembagaan pendidikan bagi para arkeolog gagasan menjadi relatif dalam pemaknaan, namun tetap menuju pada pemerdekaan dalam memperoleh pengetahuan dan pengalaman sosial.

Diakui atau tidak, kita semua hidup dalam dunia yang seluruh atau sebagian besar logikanya mengacu pada satu hal, yakni motif keuntungan ekonomi. Akibatnya, seluruh proses hidup, termasuk pendidikan, diarahkan pada motif tersebut. Dalam penghayatan dan kesadaran tentang dirinya dan dengan diri sendiri pun, manusia terjerembab pada orientasi pasar. Dalam konteks ini manusia mengalami dan menghayati dirinya sebagai benda yang dipekerjakan di pasar.
Nilai gunanya sebagai manusia ditentukan oleh sejauhmana kebutuhan pasar terhadapnya. Manusia belum atau bahkan tidak menghayati dirinya sebagai agen aktif yang mengemban kekuatan manusiawi. Makna hidup diekspresikan dengan menjual dirinya secara berhasil di pasar. Pemahamannya akan diri sendiri tidak keluar dari aktivitas sebagai makhluk yang mencinta dan berpikir, tetapi semata-mata dari peran sosio-ekonominya. Eksistensi dalam kehidupan ini dihayati sebagai upaya untuk menginvestasikannya secara baik agar dapat mendatangkan keuntungan ekonomis bagi dirinya.

Berdasar realitas dan perputaran roda peradaban di atas, meniscayakan kita untuk selalu menemukan formulasi yang tepat dalam menjawab dan menyikapi tantangan peradaban yang mengemuka di hadapan kita. Dan pendidikan adalah salah satu, bahkan satu-satunya aktor yang harus berperan aktif dalam upaya formulasi ini, karena peradaban manusia akan selalu dipengaruhi oleh mainstream yang berkembang di dalamnya. Untuk itulah, pendidikan yang tidak hanya memprioritaskan satu aspek hidup, sangat diperlukan. Dengan kata lain, pendidikan harus lebih memperhatikan pendidikan dimensi-dimensi lain dalam diri manusia.

Pendidikan dimensi-dimensi lain di dalam diri manusia tersebut antara lain kemampuan yang terkait dengan rasa kemanusiaan dan seni, yang notabene sangatlah penting bagi penciptaan kehidupan bersama yang harmonis. Kedua hal tersebut akan bermuara pada kemampuan praktis untuk berpikir kritis, kemampuan untuk mentransendensi kesetiaan sebagai warga lokal, serta kemampuan untuk melihat masalah tidak sebagai anggota dari satu kelompok kecil saja, tetapi sebagai bagian “dari seluruh dunia”. Dan, mungkin ini adalah yang terpenting, kemampuan untuk merasa empati dan simpati melihat penderitaan orang lain, dan kemudian terdorong berbuat sesuatu untuk mengubahnya.
Semua kemampuan tersebut dapat disebut sebagai “imajinasi naratif” (narrative imagination), yang membuat kita dapat mengerti dengan baik keadaan orang lain, serta mengerti sungguh-sungguh apa yang menjadi gejolak emosi serta keinginan mereka. Proses pengembangan simpati merupakan tugas utama pendidikan pribumi. Konsep pendidikan imajinasi naratif ini juga merupakan inti dari teori pendidikan modern yang sangat menekankan pentingnya pendidikan pemanusiaan manusia dan seni (moral).

Akhirnya, tanpa bermaksud memutlakkan, karena menyadari perbedaan sejarah, budaya dan konteks sosio-antropologis archeology pendidikan dalam meletakkan gerak pembaharu pendidikan pada pandangan humanis (pribumi), langsung atau tidak, pandangan gerakan pembaruan pendidikan saat ini seyogyanya kembali mengacu pada gagasan para pemikir pedagogi-revolusioner seperti Rabindranath Tagore, Ivan fliich, Paulo Freire termasuk Ki Hadjar Dewantara. Sumbangan historis konsep dan gagasan mereka akan melengkapi pemahaman tentang pemaknaan ulang konsep pendidikan di tanah air.

Konsep Problem Possing Education atau pendidikan hadap-masalah, merupakan salah satu alternatif yang ditawarkan pemikir dan arkeolog bagi pendidikan kaum pribumi dan marginal agar peserta didik mampu memahami realitas sosial yang senyatanya disamping motif-motif lain, terutama motif ekonomi. Dan kiranya inilah yang coba ditawarkan dalam sistem pembelajaran di negeri ini dengan mengangkat sebuah mainstream pembelajaran kontekstual yang terkanalisasi dalam sebuah sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang masih perlu kesadaran dan kerjasama kolektif untuk mewujudkannya.[ ]


Read more...

Berharap Bisa Mandiri

Ketika memasuki pintu gerbang pondok pesantren Dhuafa, Bulu Lawang, Malang, tampak terlihat seorang santri sedang duduk sendirian di sebuah warung sederhana beralaskan tanah. Tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirnya. Yang terlihat hanyalah tatapan kosong tak tentu arah. Namun, ketika kru inovasi berkunjung menghampirinya, senyum manis pun tampak terlihat seraya mempersilahkan untuk duduk disebuah kursi panjang yang terletak di depan warung tanpa penjaga itu.

Santri itu bernama Ainul Aziz, umurnya sekitar 23 tahun. penampilannya, tidak jauh beda dengan santri lain pada umumnya. Siang itu, dia memakai pakaian lengan panjang berwarna coklat muda, berkopyah, sarung dan sepasang sandal jepit.

Dari penampilannya, Aziz bukanlah santri yang berlebihan. Dia hanyalah anak Sebagai anak seorang petani, kelahiran Krebet, Bulu lawang yang dengan penuh kesederhanaan. Akan tetapi, ia mempunyai keinginan sangat tinggi. Keinginan ini tergambar dalam ingatan Aziz sejak tiga tahun lalu.

Beberapa tahun yang lalu, bungsu dari lima bersaudara ini, setelah lulus dari bangku sekolah berkeinginan melanjutkan studi di PTN di Malang. Dia tidak berpikir berapa banyak biaya yang dibutuhkan ketika masuk perguruan tinggi. Yang dilakukan Aziz pada saat itu adalah belajar dan berencana melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi.

Namun, apa mau dikata, setelah lulus sekolah, tiba-tiba Aziz mengurungkan niatnya untuk kuliah. Sebab, apa yang dibayangkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tingginya biaya perkuliahan menjadi faktor utama sekaligus penghalang bagi Aziz.

Saat itu, Aziz geleng-geleng kepala ketika mendapat informasi seputar tingginya biaya pendidikan di perguruan tinggi dari salah satu temannya di kampung. “Seakan saya tidak percaya. Akan tetapi apalah daya, kenyataannya seperti itu”, kenang Aziz sambil duduk diam termenung mengingat kembali keinginan masa lalunya yang terpendam.

Ia hanya bisa pasrah menerima nasib. Keinginan Aziz tercapai hanya pada tataran mimpi. Sedangkan, faktanya tidak kunjung terealisasi. Ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan hanya bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan biaya sekolah adiknya yang masih kecil-kecil. Niatan mulia melanjutkan pendidikan pun kini tinggal kenangan. Padahal, sejak awal Aziz menyadari bahwa pendidikan sangat penting. Apalagi untuk ukuran kehidupan sekarang. Baginya, pendidikan sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, Aziz sangat optimis bahwa dengan pendidikan, maka dimasa yang akan datang akan mendatangkan perubahan mendasar pada diri dan keluarganya.

Selain itu, keyakinan kuat atas pentingnya pendidikan, didasarkan atas kondisi sosial yang serba tidak menentu--terus mengalami perubahan. Aziz melihat kehidupan sekarang ini penuh dengan persaingan-persaingan antara satu dengan yang lainnya, sehingga mendorong keinginan hati untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Yang disesalkan Aziz adalah mahalnya biaya pendidikan, sehingga menjadi penghalang baginya untuk mendapatkan akses pendidikan yang murah sekaligus berkualitas.

Potret Aziz, menambah daftar dari sekian banyak anak Indonesia yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi akibat mahalnya biaya pendidikan. Masalah klasik ini seakan terus dipelihara dan dijaga kelestariannya dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia dari hari ke hari.

Meskipun demikian, tingginya biaya pendidikan tidak mengurungkan niat Aziz untuk berhenti belajar. Ia berencana ingin melanjutkan studi di pesantren. Berdasarkan informasi yang di dapatkan dari kerabat dekatnya, yang kebetulan pernah nyantri di pesantren An-nur 3, pesantren Dhuafa’ membuka pintu lebar untuk menampung anak-anak orang miskin yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Berawal dari informasi inilah, Aziz tertarik mondok di pesantren Dhuafa’ yang masih berada dalam lingkup An-nur 3. Di sana, ia tidak hanya mendapatkan pendidikan gratis, tetapi juga di latih dengan berbagai keterampilan. Bagaimanakah pesantren memberdayakan santri dengan serangkaian keterampilan tersebut?
***********
Pemberdayaan

Pesantren Dhuafa’ memiliki luas area kurang lebih 100 m². Hampir seluruh aktifitas santri berlangsung di pondok, begitu juga aktifitas belajar. Mereka tidak hanya di beri bekal ilmu agama saja, melainkan juga berbagai disiplin ilmu keterampilan. Diantara, keterampilan berdagang, bertani, tentang perkebunan, pertukangan, peternakan, dan perikanan. Tujuannya adalah untuk memberi bekal pada santri sebelum meninggalkan pondok pesantren.
Proses pemberdayaan ini, tidak mengenal istilah maupun teori. Mereka langsung praktek. Sebab, proses pembelajaran ini tidak berlangsung di dalam kelas. Melainkan, lebih banyak diselenggarakan di luar kelas sebagai proses edukatif yang mengarahkan santri agar mengenal lebih dekat lingkungannya.

Para santri diberdayakan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pada saat menginjakkan kaki di pesantren Dhuafa’, tampak terlihat Aziz bersama 2 temannya berada dilangit-langit bangunan. Tanpa dihantui rasa takut, mereka menaiki bangunan yang menjulang tinggi itu untuk memasang kayu. Sebuah palu dan paku mereka keluarkan dari saku celana untuk merapatkan kayu pada bagian atap bangunan. Sedangkan sebagian lainnya, bertugas memilih kayu yang sudah di cetak dengan bentuk persegi panjang itu untuk di haluskan.

Menurut Aziz, santri yang menekuni bidang pembangunan “bangunan yang sedang dalam proses penyelesaian itu dinamakan kasibo”. Sebuah bangunan yang biasa disebut gedung kasunanan. Banguan itu didesain mirip bangunan-bangunan yang ada pada zaman Wali Songo. Salah satu ciri khas dari bangunan itu adalah sebagian besar bahannya terbuat dari kayu kelapa. Fondasi bangunan tanpa dicor, sehingga ada kesan alami seperti bangunan yang ada pada masa lalu.

Tidak hanya kasibo yang didesain sesuai dengan corak tempo dulu. Bangunan-bangunan yang ada disekelilingnya, yang dijadikan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar santri, juga memiliki kesamaan. Semua bangunan itu dibuat berdasarkan atas hasil kreatifitas santri.

“Dalam proses pengerjaannya, sudah terbagi sesuai dengan jobnya masing-masing. Meski dengan bekal peralatan apa adanya, teman-teman bahu membahu menyelesaikannya. Ada yang bertugas memilih kayu yang cocok, menghaluskan dan memasangnya. Semuanya ini tidak bisa dikerjakan sendiri-sendiri. Harus tetap menggunakan prinsip kerjasama” Tambah Aziz.

Aziz tidak bekerja sendirian. Pada saat bersamaan, tampak terlihat santri yang masih berumur belasan tahun, sedang serius menggunting rumput. Dengan telaten, rumput yang sudah mulai memanjang diguntingi. Bekas rumput yang di gunting di sapu hingga bersih agar tampak terlihat rapi dan asri.

Masih banyak lagi keterampilan yang ditekuni santri. Ada yang berperan mengurusi masalah perikanan, peternakan, perdagangan. Semua santri disuruh mengembangkan sendiri sesuai dengan kompetensi yang mereka miliki. Sedangkan peran Ustadz, hanya sebagai fasilitator yang mengarahkan santri apabila salah dalam proses belajar. Peran ustadz lainnya adalah mendampingi santri dalm proses pembelajaran. Apabila santri tidak paham, maka langsung bertanya pada ustadz.

Sistem pembelajaran seperti ini pada dasarnya bertujuan untuk merubah anggapan bahwa santri hanya berperan sebagai penerima sedangkan ustadz sebagai pemberi pengetahuan. Sistem pembelajaran yang monologis ini, tidak lagidijadikan sebagai prinsip dasar pembelajaran dalam pesantren Dhuafa’. Santri Dhuafa’ diberi kesempatan untuk mengembangkan daya kreasi dan imajinasi sesuai dengan potensi yang mereka miliki.

Proses pembelajaran yang demikian ternyata memberikan hasil-hasil yang positif, karena santri benar-benar diajak untuk melatih diri mempelajari keterampilan secara mantap. Mereka dipersiapkan sejak dini agar pada saat terjun ke masyarakat bisa menjadi pribadi yang mandiri.
***
Keterampilan Untuk Kemandirian

Harapan KH. Ahmad Qusyairi Anwar, selaku pengasuh pondok pesantren Dhuafa’ Bulu Lawang Malang, terhadap anak didiknya adalah setidaknya santri yang sudah selesai mendalami ilmu agama dan belajar keterampilan hidup di pesantren, kelak di kemudian hari mereka bisa menjadi figur agamawan serta tidak binggung lagi mencari pekerjaan. Karena sejak awal masuk di pesantren, mereka sudah di gembleng hidup secara mandiri dengan berlatih bekerja.

Santri yang sudah kembali ke tanah kelahirannya, atau dimana saja santri bertempat tinggal, mereka telah dibekali ketrampilan agar tidak canggung (gagap) ditengah masyarakat. Mereka dapat menjalani hidup secara mandiri dengan menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tidak selalu bergantung pada orang lain.

Harapan-harapan ini muncul seiring dengan maraknya masalah kemiskinan dan pengangguran yang terjadi di berbagai wilayah. Kyai Qusyairi menuturkan bahwa beliau sering menjumpai orang miskin yang nganggur karena tidak mempunyai pekerjaan, baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan, terutama di Malang.

Penilaian ini memang tidak berlebihan. Sebab, selain karena minimnya peran pemerintah dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Proses pemberdayaan terhadap masyarakat miskin dengan memberikan keterampilan hidup juga kurang dilakukan. Faktor lain juga disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan. Terutama bagi keluarga yang berada di bawah garis kemiskinan. Mereka sering mengeluh karena tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Sehingga, keinginan untuk meningkatkan sumberdaya manusia melalui pendidikan menjadi sebuah kendala.

Menurut KH. Ahmad Qusyairi Anwar, “kalau mereka yang tidak mampu secara ekonomi tidak kita tolong dengan memberikan biaya pendidikan gratis, bagaimana mungkin anak mereka yang berada di pelosok-pelosok desa bisa membangun daerahnya sendiri di masa yang akan datang. Bisa jadi angka pengangguran akan semakin bertambah karena rendahnya kualitas sumberdaya manusia”.

“Tujuan pesantren ini didirikan hanya untuk menolong orang-orang yang lemah. Dan kegiatan menolong merupakan kewajiban saya dan kita semua. Tapi kalau saya sendiri disuruh terjun langsung, menjangkau ke sana (baca: pelosok desa), ya ngga’ mungkin. Kalau ada orang mondok di sini, atau bagi siapa saja yang ingin belajar di sini, ya silakan. Malah saya tambah senang. Saya di sini hanya menyediakan fasilitas pondok saja” tambah Kyai pada saat ditemui di ruang tamu rumahnya.

Banyak lembaga pendidikan yang mencetak sarjana, namun mereka hanya menjadi pengangguran. Mereka terjerembab dalam persoalan pengangguran, karena tidak memiliki kompetensi serta tidak mempunyai keterampilan hidup yang bisa dijadikan bekal terjun di masyarakat.

ketidakmampuan para sarjana dalam mengatasi persoalan pengangguran di negeri ini terkait dengan sistem pendidikan tinggi yang belum mampu memacu kreativitas mahasiswanya. Kyai Qusyairi beranggapan bahwa sistem pembelajaran yang diterapkan di bangku perkuliahan masih banyak menggunakan pendekatan teoritik. Sedangkan porsi waktu yang diberikan dalam mempraktekkan ilmunya sangat minim.

“Sampeyan (kamu, red) sendiri kan sudah mengerti, kalau saat ini banyak lulusan sarjana yang nganggur. Mereka nganggur karena tidak dipersiapkan dengan bekal keterampilan. Mereka hanya mengandalkan ilmu dari bangku kuliah saja. Padahal, apa yang dipelajari dibangku perkuliahan kadangkala tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Kalau mereka tidak diajak langsung terjun ke masyarakat, mempraktekkan ilmu yang dimiliki, bisa jadi akan memunculkan kegamangan tersendiri ketika mereka dihadapkan pada sebuah persoalan yang membutuhkan penyelesaian secara serius”,
ujarnya.

Berdasarkan catatan Razali Ritonga, Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik, BPS yang memaparkan Hasil survei angkatan kerja nasional Februari 2007 menunjukkan, jumlah penganggur di Tanah Air sebanyak 10,55 juta orang, atau sekitar 9,75 persen. Jika ditilik menurutpendidikan yang ditamatkan, sebanyak 740.206 orang, atau sekitar 7,02 persen tercatat sebagai penganggur intelektual. Secara sosial, tingginya angka pengangguran intelektual itu akan menyebabkan beban, tidak hanya bagi pemerintah, akan tetapi juga bagi masyarakat. Secara ekonomi, tingginya angka pengangguran itu akan menyebabkan hilangnya potensi (potential loss) dalam peningkatan pendapatan masyarakat.

Mereka yang berpendidikan seharusnya berperan besar dalam menyelesaikan masalah pengangguran, malah justru terjebak pada pengangguran itu sendiri. Berangkat dari permasalahan inilah Kyai Qusyairi sebagai pengasuh pondok pesantren Dhuafa’, merasa turut prihatin Sehingga di tahun 2003 yang lalu, mendorong pondok pesantren ini untuk hadir di tengah-tengah masyarakat sebagai alternatif penyelesaian masalah tersebut.
Bukti konkrit keunggulan pesantren ini adalah hingga saat ini tercatat lebih dari 80 santri dari anak orang tidak mampu secara ekonomi mondok di pesantren Dhuafa’ dengan biaya gratis sekaligus diberdayakan dengan berbagai keterampilan yang ada. Dan sudah banyak alumni pesantren yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri, dengan menerapkan ilmu yang di dapatkan di pesantren.


Read more...

Kegusaran Chapman : Sebuah novel yang menginspirasi Chapman untuk membunuh

Mark David Chapman meminta Jhon Lennon menandatangani buku The Catcher In The Rye di pagi hari sebulum ia menembak mati bekas anggota The Beatles itu beberapa jam kemudian. Mengapa para pembunuh orang terkenal dalam sejarah, orang-orang yang dicirikan sebagai “the lone killer,” gemar membaca novel yang sempat di larang beredar di Amerika ini?

Senin sore 8 Desember 1980, Chapman hilir mudik di muka Dahkota, kali ini ia bersama dengan Paul Goresh; pemuja Lennon merangkap juru photo amatir asal north Arlington, New Jersey. Dalam percakapannya dengan Goresh, Chapman mengatakan, bahwa sudah 3 hari keluyuran disini, berharap dapat menjumpai Lennon dan minta tanda tangannya. Sekitar pukul 17.00 Lennon bersama isterinya keluar dari gedung itu dalam memenuhi jadawal rekaman di studio Record Plant. Chapman lalu mendekati Lennon sambil menyodorkan album baru “Double Fantasy”. Lennon menerimanya dan mencoretkan tanda tengann “John Lennon 1980” diatas sampul album itu sementara Goresh menjepretkan kameranya. Chapman nampak berseri-seri.

“John Lennon mendatangani album saya, tak seorangpun di Hawaii akan percaya pada saya.” katanya kepada Goresh setelah Lennon pergi

Kedua pemuja Lennon tersebut masih berdiri di muka Dahkota untuk dua jam berikutnnya. Goresh akhirnya memutuskan pulang. Chapman berusaha mengubah niatnya : “Lennon akan segera kembali, anda bisa minta tanda tangannya. Goresh menjawab, bahwa ia akan minta tanda tangan Lennon dilain hari. “Akan saya tunggu,” kata Chapman.

John Lennon adalah salah satu penyanyi dan juga aktor legendaris dunia. Peria bernama lengkap John Winston Lennon terkenal sebagai anggota dan pendiri grup musik The Beatles, bersama Paul McCartney, George Harrison dan Ringo Starr.

Jhon Lennon bersama isterinya, Yoko Ono. Merampungkan sebuah rekaman tunggal baru berjudul “Walkin’ On Thin Ice” di studio Record Plant dan sempat berwawancara dengan RKO Radio hingga jam 22.30. Menurut rencana rekaman tunggal baru ini akan direlease akhir tahun baru, lagu tersebut akan dinyanyikan oleh Yoko Ono dan Lennon mengiringinya dengan gitar.


“Kami mempunyai rencana makan malam sepulangnya dari studio” kata Yoko dikemudian hari. “Tapi sebagai gantinya kami memutuskan pulang,” Mobil limousine sewaan membawa mereka kembali ke Dahkota sekitar jam 22.50. Limousine itu mestinya berhenti digerbang musuk, namun berhenti dipinggir jalan. Yoko keluar lebih dulu, diiringi John beberapa langkah dari belakang. Tatkala John, melewati bawah lengkungan gerbang masuk yang menghubungkan halaman dalam di gedung Dakota, sebuah suara terdengar sopan memanggilnya dari belakang: “Tuan Lennon,” John membalikkan badannya. Tampak Chapman berdiri seraya membidikkan pistol dengan kedua tangannya. Sebelum Lennon cepat beraksi, pistol Chapman menyalak beberapa kali, “Saya ditembak” rintih Lennon, terhuyung-huyung meninggalkan bercak-bercak darah sepanjang 6 kaki sebelum roboh didepan kantor penjaga pintu. Chapman kemudian membuang pistolnya dan penjaga pintu menyepak benda itu sejauh mungkin disaat Yoko menopangkan kepala suaminya dalam tangannya. “Apakah kau menyadari yang baru saja kaulakukan? “tanya penjaga pintu kepada Chapman. “Saya baru saja menembak John Lennon ,” jawab Chapman tenang

Dalam beberapa menit polisi berdatangan atas laporan penjaga pintu lewat teleponnya. Chapman menunggu mereka, membaca sepintas lalu novel klasik karangan J.D Silinger : “The Catcther In The Rye.”

Saat dua orang polisi menggeledah dan memborgol Chapman, dua orang polisi lainnya memeriksa tubuh Lennon. “Tubuhnya bermandikan darah, semuanya merah, “seru polisi Anthony Palma. “Orang ini sedang sekarat, lekas angkat !” Lennon setengah sadar dan bemandikan darah diangkat ke jok belakang mobil patroli James Moran. “Tahukah siapa anda ?” tanya Moran. Lennon mengerang lalu menganggukkan kepalanya. Ketika Moran melarikan Lennon ke rumah sakit Rooselvelt 15 blok jauhnya, Palma membututi mobilnya bersama Yoko.

Kemudian para dokter mengumumkan kematian Lennon setibanya di rumah sakit, suatu tim terdiri tujuh orang dokter bedah tetap berusaha keras untuk menyelamatkan, tapi luka-lukanya sangat parah 3 lubang peluru didadanya, dua diantaranya menembus punggung dan dua lubang lagi terdapat ditangan kirinya. “Mustahil untuk bisa menyelamatkan dia,” kata dokter Stephen Lynn. “Ia sudah kehilangan darah sekitar 80%. “Sudah berusaha keras tanpa hasil, salama dua puluh menit dalam menyelamatkan Lennon para dokter bedah itu menyerah, kemudian Lynn-pun memberitahukan Yoko. “Dimana suami saya ?” Tanya Yoko kepada Lynn. “Saya ingin mendampingi suami saya. Ia menginginkan saya mendampnginya, dimanakah dia?” “Kami membawa kabar buruk,” jawab Lynn. “Saya ingin menarik napas dalam-dalam. “Suami anda telah meninggal dunia. Tanpa penderitaan.”

Pertanyaan mendasar: apa yang membuat novel The Catcther In The Rye menginspirasi Chapman untuk membunuh?

Mungkin jawabanya adalah, karena ia terinspirasi oleh Holden Caulfield, sang protagonis, pencerita dalam The Catcher in the Rye.

Holden hampir membenci semua orang. Semua orang, kecuali abangnya, D.B., dan dua adiknya, mendiang Allie dan Phoebe yang lucu. Juga Jane Gallagher, gadis yang ia anggap mampu mengerti dirinya. Di luar keempat orang itu, dunia dipenuhi oleh orang-orang yang palsu dan aneh. Begitu anehnya, hingga mereka harus dilihat dengan penuh kebencian.

Ia membenci Robert Ackley, teman satu asrama yang jorok, sering ngupil, potong kuku sembarangan, tukang ngorok, bermuka jelek dan berjerawat. Ia juga tak suka dengan Ward Stardlater, teman sekamar yang meski gagah dan ganteng, tapi jorok. Pisau cukurnya berkarat. Dan yang paling membuatnya marah, Ward mengencani Jane. Ia membenci semua gurunya, supir taksi, dan semua orang yang ia jumpai di jalanan New York.

Ia mendeskripsikan dengan detail kekurangan setiap orang, merinci apa saja yang membuat mereka harus dibenci. Holden adalah remaja tanggung yang melihat segala sesuatu dari sisi buruk. Ia tak pernah berprasangka baik terhadap apa pun. Bahkan terhadap kebaikan gurunya, Tuan Antolini, yang memberinya atap saat ia tak tahu harus ke mana di malam New York bulan Desember yang beku.

Di luar prasangka buruknya kepada semua orang dan juga kemalasannya belajar, hingga ia kerap ditendang dari sekolah, Holden adalah pemuda biasa. Pemuda kebanyakan yang kita bilang normal.

Ia tak terlalu nakal. Mabuk iya, merokok sering, tapi ia masih perjaka saat teman-teman seusianya sudah meniduri banyak gadis. Holden memang kerap bertindak di luar kendali, seperti tiba-tiba memiting dan bergulat dengan Ward, tapi ia bukanlah perusuh yang liar. “I’m not too tough. I’m a pacifist if you want to know the truth,” katanya.

Ia tak sedang membual saat mengatakan itu (meski ia kerap membual). Lihat saja waktu ia datang ke rumah Tuan Spencer, guru sejarah yang sudah sepuh, untuk berpamitan. Meski di otaknya bermunculan seribu sumpah serapah dan hinaan keji kepada gurunya, namun ia berlaku amat sopan. Bahkan saat tak tahan dengan nasihat gurunya dan harus pergi, Holden berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya, meski untuk itu ia harus berbohong.

Tapi selama 30 tahun setelah diterbitkan pada 1945-1946, The Catcher merupakan novel yang paling dilarang di Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan sejumlah negara. Bahasanya yang kasar, kisah hubungan seks di luar nikah, mabuk-mabukan, dan prostitusi adalah hal-hal kontroversial yang membuat novel ini dibenci.

Meski sempat dilarang, The Catcher juga merupakan novel yang paling banyak diajarkan di sekolah-sekolah Amerika di saat yang sama. Ini karena Holden dianggap sebagai cerminan kebanyakan anak muda yang gelisah, yang menyimpan kegelisahannya dan hidup dalam kemunafikan masyarakat kelas menengah atas.

Dalam novelnya, J.D. Salinger mampu mengajak pembaca masuk ke dalam diri Holden, memakai kacamatanya, dan melihat dunia dari jendela neraka. Tidak hanya itu, Holden juga mampu membuat kita lebih reaktif terhadap apa yang ingin kita lakukan. Dengan deskripsi itu Salinger, bisa mensugesti orang untuk berpikir seperti Holden.

Setidaknya itulah yang penulis rasakan saat membaca novel ini. Dan hal itulah yang mungkin dirasakan oleh Mark David Chapman, pembunuh John Lennon, saat ia mengatakan bahwa ia mendengar bisikan-bisikan yang menyuruhnya untuk membunuh. Kisah novel ini sendiri amat sederhana, menceritakan beberapa hari menjelang Natal, setelah Holden dikeluarkan dari sekolah berasramanya. Setelah sedikit bercerita tentang apa yang terjadi di asrama di hari terakhirnya, cerita mengalir dalam pengalaman Holden selama beberapa hari luntang-lantung di New York.

Read more...

Mp3 music player

  ©Template by Dicas Blogger.